Peneliti BRIN: Faktor Internasional Sangat Menentukan Penyelesaian Pelanggaran HAM di Indonesia
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa faktor internasional sangat menentukan selesaikan masalah HAM.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam menyimpulkan bahwa faktor internasional sangat menentukan dalam Penyelesaian Masalah HAM di Indonesia.
Kesimpulan tersebut disampaikannya setelah memaparkan sejumlah fakta yang telah terjadi.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar bertajuk Strategi Melawan Impunitas pada Jumat (22/4/2022).
"Saya ingin memperlihatkan di sini bahwa dalam kasus penyelesaian HAM di Indonesia ini, faktor internasional itu sangat-sangat menentukan," kata Asvi.
Ia menjelaskan Kamp Pulau Buru yang merupakan tempat pembuangan tahanan politik PKI ditutup pemerintah pada tahun 1979 tidak lain karena desakan internasional.
Kalau tidak ada kritik atau kecaman dari dunia internasional atau lembaga-lembaga HAM internasional, kata dia, mungkin Pulau Buru itu masih ada sampai sekarang.
"Tapi desakan atau kritikan dari lembaga internasional itu yang menyebabkan kemudian pemerintah menutup atau mengakhiri pembuangan di Pulau Buru itu," kata dia.
Demikian juga, lanjut dia, dengan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc internasional mengenai Timor-Timur.
Ia mengatakan yang menyebabkan pengadilan HAM Ad Hoc mengenai Timor-Timur dibentuk adalah kritikan dari dunia internasional.
Begitu pula, lanjut dia, dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan RI dengan Timor-Timur.
Baca juga: Peneliti BRIN: Pemerintah Bisa Pilah Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang Bisa Diselesaikan
Komisi tersebut, kata dia, dibentuk karena sudah ada CAVR (Komisi untuk Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi) yang lebih rinci di dalam menguraikan tentang pelanggaran HAM berat di sana.
Di samping itu, kata dia, juga ada tuntutan-tuntutan hukum yang lain misalnya upaya menangkap pejabat Indonesia yang terlibat pelanggaran ketika berkunjung ke Australia atau Amerika Serikat.
"Inilah yang menyebabkan kemudian pemerintah Indonesia mau membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia dan Timor Leste," kata Asvi.
Selanjutnya, munculnya film The Act of Killing dan Senyap yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer.
Film tersebut, kata dia, menimbulkan dampak internasional karena memenangkan beberapa festival yang dampaknya terasa bagi Indonesia karena menunjukkan bahwa para pelaku pelanggaran HAM tersebut ternyata bisa mengakui apa yang dia lakukan pada tahun 1965.
Ia juga menyebut IPT 1965 di Den Haag yang pada bulan November 2015 menyimpulkan bahwa memang terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan tuduhan tentang keterlibatan negara asing dalam peristiwa tersebut.
Adanya IPT 1965 tersebut, kata dia, kemudian menimbulkan reaksi dari Pemerintah Indonesia mengadakan simposium Nasional 1965.
Baca juga: Peneliti BRIN Usulkan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
"Kesimpulan saya adalah bahwa faktor internasional itu sangat menentukan. Di sini, The Act Of Killing mendorong adanya IPT 1965 di Den Haag, dan IPT 1965 inilah reaksinya itu Simposium di Hotel Arya Duta yang itupun kemudian menimbulkan simposium tandingan di Balai Kartini oleh pihak yang anti-PKI," kata dia.