Peneliti BRIN: Pemerintah Bisa Pilah Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang Bisa Diselesaikan
Pemerintah bisa memilah kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang bisa diselesaikan jika memang tidak bisa menuntaskan seluruhnya.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Asvi Warman Adam berpendapat pemerintah bisa memilah kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang bisa diselesaikan jika memang tidak bisa menuntaskan seluruhnya.
Terkait dengan peristiwa pelanggaran HAM berat tahun 1965-1966, Asvi mencontohkan ada dua kasus yang mungkin bisa diselesaikan pemerintah.
Pertama, kata dia, terkait pencabutan kewarganegaraan yang menyebabkan warga Indonesia di luar negeri ketika itu menjadi eksil.
Untuk itu, menurutnya pemerintah cukup mengakui sudah terjadi pelanggaran HAM berat dan meminta maaf terhadap perlakuan itu.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar bertajuk Strategi Melawan Impunitas pada Jumat (22/4/2022).
"Menurut pandangan saya tidak perlu juga para eksil itu diberi dwikewarganegaraan menurut saya tidak usah juga. Tapi yang penting diakui peristiwa itu dan pemerintah meminta maaf," kata Asvi.
Baca juga: Peneliti BRIN Usulkan Komisi Kebenaran dan Persahabatan Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Selanjutnya, kata dia, pembuangan tahanan politik ke Pulau Buru yang mengorbankan belasan ribu orang selama 10 tahun.
Ia mengatakan pembuangan ke Pulau Buru tersebut adalah kasus yang murni kebijakan negara.
Untuk itu menurutnya, pemerintah perlu mengakui perlakuan tersebut merupakan pelanggaran HAM berat dan memberikan rehabilitasi kepada para korban.
"Ini diakui oleh pemerintah dan kemudian para korban diberikan rehabilitasi. Ini beberapa contoh pemilahan kasus itu yang bisa diselesaikan seandainya tidak semua, sebagian begitu," kata Asvi.
Baca juga: Kapan Awal Puasa Ramadhan 2022? Muhammadiyah Tetapkan 2 April, BRIN Ungkap Potensi Tak Bersamaan
Selain itu, ia juga mengusulkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan model RI-Timor Leste untuk menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti peristiwa penembakan misterius dan tragedi Tanjung Priok.