Sidang Kasus Penyekapan Pengusaha di Depok, Saksi Ungkap Sosok Atet
Atet meyakinkan KS bahwa ia bisa membantu melancarkan bisnis PT Indocertes karena mengklaim punya kedekatan hubungan dengan para pejabat TNI AD.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus dugaan penyekapan terhadap mantan Direktur Utama PT Indocertes Atet Handiyana Juliandri Sihombing kembali digelar di Pengadilan Militer II-08, Cakung, Jakarta Timur, Kamis (21/4/2022).
Sidang kali ini menghadirkan saksi penting yaitu KS yang merupakan pemilik tunggal PT Indocertes.
Saksi memberikan keterangan di depan pengadilan yang dipimpin Hakim Ketua Letkol Chk Rizky Gunturida, didampingi Mayor Chk Subiyanto, dan Kapten Chk Nurdin Rukka sebagai anggota, serta Oditur Letkol Chk Upen Jaya Supena.
Pada sidang terungkap kronologi Atet bisa diangkat sebagai Direktur di perusahaan alutsista tersebut.
Pada awal Juli 2021, Atet berkenalan dengan KS dan mengaku sebagai anak angkat Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, anak sulung Presiden ke-2 RI Soeharto.
Atet juga mengaku keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Pertemuan pertama, Atet membuat KS terkejut. Atet mengeluarkan pistol.
"Dia (Atet) bilang, saran Mbak Tutut kalau ketemu orang baru harus begini (keluarkan pistol). Jadi dia selalu bawa-bawa Mbak Tutut," kata KS.
Atet pun meyakinkan KS bahwa ia bisa membantu melancarkan bisnis PT Indocertes karena mengklaim punya kedekatan hubungan dengan para pejabat TNI AD dan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Bermula dari klaim-klaim inilah Atet kemudian mulai meminta jabatan di perusahaan dan diikuti permintaan sejumlah dana bernilai fantastis.
"Biar meyakinkan, bisa enggak saya dikasih jabatan sementara jadi direktur utama?” ujar KS menirukan ucapan Atet.
KS pun mengiyakan permintaan itu sembari menjelaskan bahwa meski mengangkat Atet sebagai direktur, ada akte pengikat yang menyebut bahwa pengangkatan direktur ini hanya formalitas.
Direktur tidak punya hak apapun atas perusahaan. Sejak jadi Direktur itulah Atet disebut mulai meminta sejumlah uang bernilai puluhan miliar rupiah.
"Atet itu minta uang sampai 18 kali selama 3 minggu. Nilainya kalau dari pencatatan bagian keuangan perusahaan, mencapai Rp 87 miliar," ujar KS.
Selama proses pemberian dana-dana itu, Atet minta penyerahan dalam bentuk tunai tanpa tanda terima.