KPK Setor Uang Rp 3,5 M Pelunasan Denda dan Uang Pengganti Eks Gubernur Sultra
KPK menyetor Rp 3,5 miliar dari pelunasan uang denda dan uang pengganti mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetor Rp 3,5 miliar dari pelunasan uang denda dan uang pengganti mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.
Untuk diketahui Nur Alam adalah terpidana kasus tindak pidana korupsi dalam Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2014.
"Tim Jaksa Eksekutor KPK telah melakukan penyetoran ke kas negara pelunasan uang hasil penagihan dengan total sejumlah Rp3,5 miliar dari terpidana Nur Alam berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri lewat keterangan tertulis, Selasa (10/5/2022).
Ali menjelaskan upaya penagihan yang dilakukan oleh Tim Jaksa Eksekutor ini sebagai optimalisasi pemulihan aset dari hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh para koruptor.
"KPK melalui direktorat pengelolaan barang bukti dan eksekusi terus aktif melakukan penagihan uang denda maupun uang pengganti terhadap para terpidana korupsi yang perkaranya ditangani KPK," katanya.
Nur Alam divonis 12 tahun penjara berdasarkan putusan kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tanggal 5 Desember 2018.
Kasus tindak pidana korupsi yang menyeret Nur Alam itu merugikan keuangan negara sebesar Rp 1,59 triliun.
Nur Alam juga menerima gratifikasi sebesar Rp 40,268 miliar.
Vonis itu berkurang dari putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memutuskan Nur Alam divonis 15 tahun penjara.
Putusan tingkat pertama, pada 28 Maret 2018, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Nur Alam 12 tahun penjara.
Nur Alam pernah mengajukan peninjauan kembali (PK) sebanyak dua kali, yang keduanya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Dia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp2,781 miliar dan dicabut hak politiknya selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani hukumannya.
Pidana pengganti itu diperhitungkan dengan harga satu bidang tanah dan bangunan di Kompleks Premier Estate Kavling 1 No 9, Cipayung, yang sudah disita.
Nur Alam dinilai terbukti bersalah dalam dua dakwaan.
Dakwaan pertama, Nur Alam, sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008-2013 dan 2013-2018, bersama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas ESDM Provinsi Sultra Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi memberikan persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB), sehingga merugikan keuangan negara senilai Rp1,5 triliun.
Dakwaan kedua, Nur Alam terbukti menerima gratifikasi sebesar 4,499 juta dolar AS atau senilai Rp40,268 miliar.
Uang itu diterima sebesar 2,499 juta dolar AS pada September-Oktober 2010, yang ditempatkan di rekening AXA Mandiri Financial Service dari rekening Chinatrust Commericial Bank Hongkong atas nama Richcorp International Ltd.(*)