Hari Kebangkitan Nasional, saatnya Perempuan Punya Hak Bicara dalam Simfoni
'Semangat, Gelora dan Inspirasi' merupakan suatu acara konser yang berfokus pada peran perempuan untuk kemajuan bangsa sejak zaman kolonial.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Momentum Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang jatuh pada 20 Mei 2022 tentunya kini tidak hanya diperingati sebagai lahirnya Budi Oetomo atau organisasi perlawanan pertama melawan kolonialisme.
Namun juga dimaknai secara lebih luas dengan berfokus pula pada kesetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan.
Perlu diketahui, sejak era kolonial, perlawanan terhadap ketidaksamaan hak berbasis gender ini sebenarnya telah diperjuangkan.
Hal ini dibuktikan oleh Raden Adjeng (RA) Kartini melalui tulisannya yang menggelorakan semangat dan menjadi bukti bahwa kaum perempuan juga 'memiliki hak untuk bicara'.
Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional, Ketua Fraksi PKS: Pandemi Mereda, Momentum Kebangkitan Ekonomi Rakyat
Misi yang sama pula ingin ditunjukkan Show Director 'Semangat, Gelora dan Inspirasi', Aditya Setiadi.
'Semangat, Gelora dan Inspirasi' merupakan suatu acara konser yang berfokus pada peran perempuan untuk kemajuan bangsa sejak zaman kolonial.
Dalam acara yang mengusung tema 'Era Wanita dalam Simfoni' dan dihelat di The Energy Building, SCBD, Jakarta Selatan, Jumat (20/5/2022) itu, ia ingin menyampaikan pemahaman bahwa kaum hawa turut memiliki peran besar dalam membebaskan Indonesia dari penjajahan.
Adit menyampaikan bahwa ide awal dari acara ini adalah menggelar konser untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
"Namun ada sesuatu yang berbeda dalam konser ini, kami berusaha untuk memasukkan perspektif perempuan di sini, bahwa perempuan memiliki kesetaraan yang sama dengan laki-laki dalam upaya membebaskan Indonesia dari penjajahan," kata Adit.
Baca juga: Pemberdayaan Perempuan Langkah Strategis Wujudkan Kebangkitan Nasional
Tidak hanya dari penjajahan negara asing, namun juga penjajahan dalam bentuk dominasi patriarki yang sangat kuat dalam lingkungan masyarakat.
"Indonesia perlu bangga bahwa pergolakan perjuangan kaum perempuan juga sangat tinggi dalam meraih kemerdekaan. Tentu kita tahu RA Kartini dengan berbagai pemikirannya yang mendahului masanya, diikuti oleh munculnya berbagai organisasi perempuan seperti Putri Mardika pada 1912, Wanita Utomo pada 1921 dan Kongres Perempuan Indonesia pada 1928," jelas Adit.
Di samping itu, kata dia, hingga tahun 1940-an, banyak lembaga yang memberikan jaminan pada kemerdekaan dan keamanan bagi kaum perempuan.
Dua di antaranya seperti Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak, serta Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan.
Perlu diketahui, 'Era Wanita dalam Simfoni' merupakan sebuah pagelaran dan juga 'bentuk sikap' bahwa perempuan berhak bicara.