Marak Isu Bahaya Mikroplastik pada Air Kemasan, BPOM Minta Masyarakat Bijak Menyikapi Isu
Deputi BPOM Rita Endang berharap masyarakat dapat menyikapi pemberitaan tersebut dengan bijak isu bahaya mikroplastik pada AMDK
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM - Isu terkait bahaya mikroplastik pada air minum dalam kemasan (AMDK) makin marak diberitakan akhir-akhir ini. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan pada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang, berharap masyarakat dapat menyikapi pemberitaan tersebut dengan bijak.
Ia menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada risiko kesehatan terkait mikroplastik. "Masyarakat tak perlu cemas. Sampai saat ini, belum ada risiko kesehatan terkait mikroplastik," ujar Rita dalam sebuah sesi dialog publik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia belum lama ini.
Dalam forum bertajuk “Sosialisasi Keamanan Kemasan Bahan Pangan Berbahan Baku Plastik yang Mengandung Unsur BPA”, Rita meminta masyarakat agar tidak mudah termakan isu.
"Badan POM tak pernah lepas dari mengawasi segala hal terkait keamanan dan mutu obat dan makanan untuk menjaga kesehatan masyarakat," katanya.
Menurut penjelasan Rita sendiri, mikroplastik adalah sebuah unsur serpihan plastik yang tak kasat mata dan berukuran satu hingga lima mikrometer. Pada dasarnya, mikroplastik dapat ditemukan di semua unsur plastik jika plastik tersebut mengalami degradasi, alias runtuh dari badan polimer, yang dapat disebabkan oleh perubahan suhu, gesekan dan sebagainya.
"Degradasi itu bisa terjadi pada plastik jenis PET, PC, PP," katanya merujuk pada jenis plastik yang umum dijumpai di pasaran dalam bentuk wadah botol plastik air minum.
Isu bahaya mikroplastik pada air minum dalam kemasan
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), data awal seputar kontaminasi mikroplastik pada air minum dalam wadah botol plastik banyak merujuk pada hasil riset Departemen Kimia, State University of New York at Fredonia, Amerika Serikat. Isu ini mulai merebak ketika sebuah laporan hasil riset uji kontaminasi mikroplastik pada air keran (tap water) dan pada air minum dalam kemasan plastik dipublikasikan pada tahun 2018.
Riset Fredonia tersebut terbit dengan judul "Synthetic Polymer Contamination in Bottled Water" di jurnal Frontier in Chemistry pada September 2018. Penelitian mencakup uji kontaminasi mikroplastik atas 11 merek air minum kemasan botol plastik di sembilan negara, termasuk salah satu merek air minum dari Indonesia.
Dari situlah, bermunculan banyak riset sejenis, yang kemudian menimbulkan sejumlah pertanyaan serta kekhawatiran atas dampak kontaminasi mikroplastik dalam air minum pada tubuh manusia. Akibatnya, pemberitaan mengenai bahaya mikroplastik kerap menjadi isu hangat di berbagai negara selama beberapa tahun terakhir, termasuk juga Indonesia.
Penelitian tersebut menghasilkan temuan yang menyebutkan bahwa 93 % dari total 259 botol sampel air minum kemasan yang diuji menunjukkan "sejumlah tanda telah terjadi kontaminasi mikroplastik". Dengan bantuan program komputer, riset menghitung ukuran, konsentrasi dan jenis mikroplastik pada semua sampel.
Kemudian, dari situ diketahui terdapat rata-rata 10,4 partikel mikroplastik dengan ukuran di atas 10 mikrometer per liter dalam setiap botol sampel. Sementara itu, pemeriksaan dengan mikroskop FTIR mengonfirmasi partikel renik yang berhasil diidentifikasi adalah polimer plastik dengan jenis yang paling dominan adalah polypropylene, umumnya digunakan sebagai bahan baku produksi tutup botol air minum kemasan.
Bagian lain dari laporan ini menunjukkan bahwa kontaminasi mikroplastik pada sampel yang diuji kemungkinan bersumber dari kemasan plastik dan atau saat proses pengisian air minum di pabrik pengolahan.
Di bagian terakhir, laporan mempertimbangkan fakta belum ada penelitian yang konklusif terkait dampak kontaminasi mikroplastik pada manusia dan fenomena masifnya konsumsi air minum kemasan di seluruh dunia.
Belum ada rekomendasi pemantauan dari WHO
WHO selaku badan kesehatan dunia pun turut merespon isu yang ramai menjadi perbincangan tersebut. Pada tahun 2019, WHO merilis sebuah laporan komprehensif bertajuk "Microplastic in Drinking-water". Laporan tersebut menjawab pertanyaan dan kecemasan global perihal kemungkinan dampak mikroplastik dalam air minum pada kesehatan manusia.
Dalam laporan setebal 124 halaman ini, WHO menggambarkan mikroplastik sebagai ubiquitous, yang berarti ada dimana-mana. Mikroplastik terdapat di semua lingkungan, dari perairan laut hingga makanan, dari udara hingga air minum, baik dalam botol maupun dari air keran.
Hanya saja, menurut WHO, belum ada penelitian yang konklusif terkait efeknya pada kesehatan manusia. Karena itulah, laporan WHO tersebut menyimpulkan bahwa isu mikroplastik tak perlu menjadi sumber kecemasan masyarakat untuk mengonsumsi air minum sehari-harinya.
Merujuk pada maklumat WHO, Rita menyebut bahwa hingga kini belum ada rekomendasi untuk melakukan pemantauan rutin atas kontaminasi mikroplastik dalam air kemasan. "Sampai saat ini, belum ada risiko kesehatan terkait mikroplastik," tegas Rita.
Lebih lanjut, berdasarkan keputusan dalam rapat bersama Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives tahun 2020 lalu, mikroplastik dianggap belum perlu jadi prioritas analisis.
"Bahkan pada 2021 otoritas keamanan pangan tertinggi Eropa, European Food Safety Authority, juga menyampaikan hal yang sama, pemantauan rutin mikroplastik belum menjadi prioritas," katanya.
Senada dengan Rita, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia, Rachmat Hidayat, mengatakan belum ada studi ilmiah yang secara kuat membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia.
“The Joint WHO/FAO Committee on Food Additives selaku lembaga pengkaji risiko untuk keamanan pangan belum mengevaluasi toksisitas mikroplastik,” tutupnya.(*)