KontraS dan ICW Desak Mendagri Batalkan Penempatan Anggota TNI-Polri Aktif Sebagai Pj Kepala Daerah
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan ICW mendesak sejumlah hal terkait pengangkatan perwira TNI dan Polri aktif
Penulis: Gita Irawan
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak sejumlah hal terkait pengangkatan perwira TNI dan Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah.
Pertama, KontraS dan ICW mendesak Pemerintah Pusat dalam hal ini Presiden menginstruksikan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia untuk memperbaiki tata kelola penunjukan Penjabat Kepala Daerah agar diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan professional sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan ang baik.
Hal tersebut disampaikan Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar dalam konferensi pers secara daring pada Jumat (27/5/2022).
"Kedua, Mendagri harus membatalkan penempatan TNI-Polri aktif sebagai Penjabat Kepala Daerah. Langkah ini selain bertentangan dengan beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan, juga hanya akan membangkitkan kembali hantu dwi fungsi TNI-Polri sebagaimana terjadi pada era Orde Baru," kata Rivanlee.
Ketiga, Kontras dan ICW mendesak Mendagri membuka informasi peraturan teknis sebagai turunan dari Pasal 201 UU Pilkada dan seluruh dokumen mengenai proses pengangkatan penjabat Gubernur yang telah dilantik.
Keempat, kata dia, KontraS dan ICW mendesak Ombudsman menyatakan maladministrasi tindakan pemerintah untuk menempatkan TNI-Polri sebagai Penjabat Kepala Daerah.
Hal tersebut, lanjut dia, karena melanggar berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan sampai Putusan MK.
Kelima, KontraS dan ICW mendesak lembaga pengawas pemerintah seperti DPR maupun aparat penegak hukum untuk mengawasi dan mencermati bahkan mengevaluasi langkah yang telah diambil baik oleh Kemendagri ataupun tokoh-tokoh yang mewakili sejumlah institusi tertentu terkait pengangkatan Pj Kepala Daerah.
Baca juga: Pengamat Ungkap Dampak Penunjukan Penjabat Kepala Daerah dari TNI-Polri Aktif bagi Masyarakat
"Guna menghindari adanya muatan conflict of interest dalam pengangkatan atau penujukan penjabat atau pelaksana tugas pemimpin daerah terlebih dalam tindakan yang menyeret TNI-Polri untuk terlibat pada ranah sipil secara menyeluruh seperti Penjabat Kepala Daerah," lanjut Rivanlee.
Ada sejumlah yang diungkapkan dibalik desakan tersebut.
Pertama, kata Rivanlee, adalah tidak adanya vetting mechanism yang terukur dan transparan dalam proses penunjukkan kepala daerah yang selama ini telah terjadi.
Hal tersebut, kata dia, setidaknya dari lima penjabat di tingkat walikota, bupati, sampai dengan gubernur tidak melalui uji pemeriksaan yang komperhensif terkait rekam jejak bahkan kompetensi.
Lima penjabat tersebut di antaranya Sekretaris Daerah Banten Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten.
Direktur Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ridwan Djamaluddin sebagai Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Barat.
Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga Hamka Hendra Noer sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo.
Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Kementerian Dalam Negeri Komisaris Jenderal (Purn) Paulus Waterpauw sebagai Penjabat Gubernur Papua Barat.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah (Sulteng) Brigjen Andi Chandra As'aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat.
Baca juga: Pakar Hukum: Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Unsur TNI Aktif Tak Ada Pijakan Konstitusionalnya
Menurutnya vetting mechanism ini penting dilakukan untuk menghindari kepentingan politik partisan dari segelintir orang yang bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan, melindungi hak asasi manusia dan menghindari disfungsional lembaga, sampai menghindari praktik-praktik korup yang ada.
Kedua, kata dia, KontraS dan ICW melihat pemilihan yang secara tiba-tiba tanpa partisipasi dari publik atau tanpa keterbukaan dari alat ukur negara yang semestinya disampaikan kepada publik telah terjadi sejak 2018 atau bahkan sebelumnya terutama yang kaitannya dengan pengangkatan anggota TNI/Polri sebagai Penjabat/PLT Kepala Daerah.
Preseden-preseden tersebut, kata dia, dikhawatirkan menjadi kewajaran dan menjadi landasan utama dari pengangkatan Brigjen TNI yang hari ini menjadi polemik, di saat statusnya masih menjadi Perwira tinggi aktif dan belum memasuki masa pensiun atau secara resmi telah selesai dari tugasnya atau jabatan sebelumnya.
"Penunjukan TNI/Polri sebagai penjabat Kepala Daerah di disi lain juga menunjukkan jalan pemerintah untuk mengembalikan hantu Dwifungsi TNI, yang sekarang hantunya ini juga bisa berasal dari Polri sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru," kata dia.
Peneliti KontraS Rozy Brilian menambahkan KontraS dan ICW melihat apa yang disampaikan atau diputuskan oleh Kemendagri tersebut tidak mematuhi Peraturan Perundang-Undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi.
Penempatan perwira aktif TNI dalam jabatan sipil, lanjut dia, merupakan bentuk pembangkangan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan secara normatif.
Sebenarnya, kata dia, berbagai peraturan perundang-undangan misalnya UU Polri, UU TNI, UU ASN, maupun putusan Mahkamah Konstitusi mengatur dengan sangat tegas dan jelas bahwa perwira aktif harus mengundurkan diri terlebih dahulu sebelum dapat menduduki jabatan lain di sektor-sektor yang telah ditentukan.
"Potensi maladministrasi ini dikhawatirkan akan bergerak lebih dalam lagi di ranah sipil apabila masyarakat terus membiarkan praktik-praktik ini. Sehingga nanti muncul satu kesewenang-wenangan yang akhirnya juga berpotensi eksesif dan lain sebagainya," kata dia.
Selain itu, kata dia, KontraS dan ICW khawatir adanya dugaan muatan conflict of interest atau konflik kepentingan dalam konteks penujukkan Pj kepala daerah tersebut.
Menurutnya penunjukan tersebut tidak sama sekali memperhatikan kebutuhan rakyat di daerah dan emilihan komposisi merupakan representasi dari kepentingan pemerintah pusat.
Misalnya, lanjut dia, faktor-faktor esensial seperti visi-misi gubernur/wakil gubernur sebelumnya, keahlian, dan kehendak publik dalam pemilihan tersebut nampak tak diperhitungkan.
"Ini yang sebenarnya menguatkan bahwa ada conflict of interest di dalam proses ini," kata dia.
Menurutnya dugaan konflik kepentingan tersebut misalnya tercermin setidaknya dalam dua penunujukan, yakni Ridwan Djamaludin yang saat ini menjabat Penjabat Gubernur di Bangka Belitung dan Paulus Waterpauw yang kemudian dilantik menjadi Penjabat Gubernur di Papua Barat.
Baca juga: Tito Karnavian Pastikan Pemilihan Pj Kepala Daerah di Sulawesi Tenggara Berasas Profesionalitas
Ridwan, kata dia, diduga kuat memiliki tujuan yang sangat konkret, misalnya terkait dengan mengurus tambang timah karena merupakan Dirjen ESDM sebelumnya.
Sementara Paulus, kata dia, sangat kental kaitannya untuk memperkuat narasi negara di Papua utamanya terkait Otsus dan DOB yang banyak sekali ditolak oleh masyarakat Papua.
"Kami menyimpulkan bahwa terdapat pola sistemik yang ditujukan untuk menjalankan kepentingan tertentu di daerah melalui penunjukkan Penjabat/Plt Kepala Daerah. Pola-pola ini jelas akan sangat berbahaya, sebab akan melahirkan budaya otoritarian dan hanya akan menciptakan demokrasi palsu," kata Rozy.