Polemik Penunjukan Pj Kepala Daerah, Mendagri: Sedang Dibahas Bersama Menkopolhukam
Tito Karnavian menyatakan, penunjukkan penjabat (Pj) kepala daerah yang menuai polemik di masyarakat, saat ini sedang dibahas bersama kementerian
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) Tito Karnavian menyatakan, penunjukkan penjabat (Pj) kepala daerah yang menuai polemik di masyarakat, saat ini sedang dibahas bersama kementerian terkait.
Tito berujar, pembahasan tersebut sedang dilakukan bersama Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD.
"Iya itu lagi dibicarakan nanti di kantor Menkopolhukam," singkat Menteri Tito saat ditemui awak media usai acara pembukaan Rakornas Realisasi APBD Kemendagri tahun 2021 di salah satu hotel di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (2/6/2022).
Kendati ditanyakan, sudah sejauh mana tahapan pembahasan tersebut, Mendagri Tito memilih bungkam.
Sebagaimana diketahui, penunjukan Penjabat (Pj) kepala daerah pengganti Gubernur, Bupati/Walikota yang berada di bawah wewenang pemerintah dalam hal ini Kemendagri menuai polemik dari berbagai kalangan.
Hal itu didasari karena Kemendagri turut menunjuk anggota TNI dalam jabatannya sebagai Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Sulawesi Tengah (Kabinda Sulteng) Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin, sebagai Penjabat (Pj) Bupati Seram Bagian Barat Provinsi Maluku.
Respons atas penunjukan itu di antaranya datang dari, anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (purn) TB Hasanuddin.
Hasanuddin mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar tak sembarangan menempatkan prajurit TNI aktif sebagai pejabat kepala daerah.
Hal ini merujuk pada Undang-Undang No. 34/2004 tentang TNI yang diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022, Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022, yang dibacakan pada 20 April 2022 lalu.
Baca juga: Lantik Penjabat Ketua TP PKK di 5 Provinsi, Ini Pesan Tri Tito Karnavian
"Aturannya sudah sangat jelas. Mengacu pada UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI terutama Pasal 47 serta Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No 67/PUU-XX/2022, Kemendagri tak bisa sembarangan menempatkan anggota TNI aktif menjadi pejabat kepala daerah," kata politikus senior PDI Perjuangan ini, Sabtu (28/5/2022).
Hasanuddin menjelaskan pada Pasal 47, UU No.34 tahun 2004 tentang TNI, Ayat (1) memuat bahwa Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Kemudian pada Ayat (2), Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Tak hanya dari wakil rakyat, Pengamat sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun, juga ikut buka suara soal penunjukan Penjabat (Pj) Kepala Daerah ini.
Pria yang akrab disapa Ubed itu menyatakan, penunjukan atas Andi sebagai Pj Bupati Seram Barat tidak tepat di saat aturan terkait penunjukan Pj kepala daerah dari unsur TNI atau Polri belum jelas.
"Menurut saya langkah tersebut tidak tepat dalam situasi saat ini dan ditengah aturan yang belum ada," kata Ubed saat dimintai tanggapannya, Jumat (28/5/2022).
Lebih lanjut, aktivis 98 itu juga menyatakan, penunjukan Pj kepala daerah dari unsur TNI/Polri juga berpotensi menimbulkan pemahaman adanya tindakan yang tidak fair oleh pemerintah.
Karena kata dia, dalam proses pemilihan Pj kepala daerah tidak dilakukan sebagaimana pemilihan kepala daerah melalui pemilu, melainkan hanya dengan mekanisme penunjukan oleh elit pejabat melalui Kemendagri.
"Bukan berarti saya anti unsur Polri atau TNI tetapi memang ada larangan bagi anggota Polri dan TNI aktif untuk menjadi kepala daerah," ucap Ubed.
Dirinya lantas merujuk pada undang - undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dijelaskan kalau TNI/Polri tidak boleh bekerja di luar institusi TNI/Polri.
Aturan itu kata dia, dikecualikan untuk 10 institusi kementerian/lembaga semisal di Kemenko Polhukam, BIN, BNN, maupun BNPT.
"Bukan jadi Bupati, Walikota atau Gubernur," beber Ubed.
Tak hanya itu, dalam UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN pada Pasal 20 juga disebutkan kalau anggota TNI/Polri boleh masuk ke birokrasi sipil dengan catatan diberi jabatan struktural yang setara dengan tugasnya.
Sedangkan menurut Ubed, Bupati/wali kota atau Gubernur itu merupakan jabatan politis karena dipilih melalui pemilihan umum.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 juga kata dia, disebutkan kalau TNI/Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dengan catatan diberikan jabatan struktural yang setara.
"Sekali lagi, itu maksudnya bukan jabatan politis," ucap Ubed.
Dengan begitu, dirinya menyatakan kalau penunjukan Pj kepala daerah yang seperti demikian khawatirnya akan memberikan dampak besar.
Bahkan kata dia, hal itu bisa sampai mengganggu pada kestabilan proses pemerintahan di daerah-daerah.
"Dampak besarnya kinerja kepala daerah akan terganggu," tukas Ubed.