Berantas Radikalisme Lewat Media Sosial, Dirjen Kominfo Imbau Masyarakat Bijak Berinternet
Taufiq menuturkan sejak reformasi, Indonesia menjadi sebuah negara yang sangat terbuka.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masalah terorisme menjadi ancaman besar di era teknologi informasi.
Karenanya, perlu penanganan serta upaya pencegahan dari seluruh lapisan masyarakat, agar terorisme bisa diberantas dari bumi nusantara.
Anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R. Abdullah menyebut ada fakta yang tidak bisa kita hindari dari dampak reformasi, yakni terorisme dan radikalisme.
Dalam Webinar bertajuk Ngobrol Bareng Legislator "Berantas Radikalisme Lewat Media Sosial" yang digelar Kominfo dan DPR RI, Jumat (3/6/2022) lalu.
Taufiq menuturkan sejak reformasi, Indonesia menjadi sebuah negara yang sangat terbuka.
Baca juga: Pelajar SMP di Jawa Tengah Terpapar Radikalisme: Tidak Mau Hormat Bendera
"Bahkan melebihi dari yang dibayangkan tokoh reformasi dan melebihi dari yang dibayangkan dunia. Indonesia masuk ke dalam tiga besar negara paling demokratis di dunia," ujarnya.
Keterbukaan yang berlebihan ini merupakan reaksi dari keterkungkungan yang ada di masa order baru. Penindasan dan pembatasan gerak, membuat orang dulu tidak berani bicara, termasuk kalangan tokoh agama.
Maka di era reformasi, seolah-olah semua menjadi boleh dan berani. Kelompok ekstrimis, sekularis, muslim fundamental, liberalis, nasionalis, teroris, radikalis, serta semua kelompok tak bisa berkutik. Saat reformasi lahir, maka semuanya bangkit.
"Semua muncul, lalu dibarengi dengan keterbukaan informasi melalui teknologi digital. Dengan perkembangan industri 4.0, kita bisa bicara apa saja, bahkan melalui internet dan media sosial, masyarakat bisa memaki-maki presiden dan para ulama," kata Taufiq.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadikan kehidupan masyarakat saling terhubung dengan sangat mudah dan murah. Namun, bersama dengan kemajuan ini, muncul tantangan di era digital.
Salah satu tantangannya adalah semakin maraknya penyebaran konten radikalisme yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan anak bangsa.
Baca juga: Tjahyo Kumolo : Paham Terorisme dan Radikalisme Masih Mengancam ASN di Indonesia
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Harian Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme MUI Pusat Muhammad Makmun Rasyid mengatakan, kalau tidak berhati-hati dalam menggunakan internet, maka bisa terjebak paham radikalisme.
"Bagi mereka (penyebar faham radikalisme dan terorisme), tatap muka sudah tidak efktif. Sekarang mereka menggunakan medsos untuk menyebarkan ajarannya. Ada sekeluarga pergi ke Syiria disebabkan bacaan mereka di internet," kata Makmun.
Menurutnya, terorisme merupakan puncak gunung es dari ragam embrio yang ada seperti intoleransi, ekslusivitas dalam beragama, radikalisme, dan ekstrimisme.
Untuk itu, sinergitas lintas sektor menjadi penting dalam upaya pencegahan dan penanggulangan radikal-terorisme dan perlu dilakukan kerja sistematis, baik di tingkat hulu maupun hilir.
Dirjen APTIKA Kominfo, Semuel Abrijani Pengerapan, mengatakan, masyarakat harus bisa memanfaatkan teknologi digital dengan bijak, produktif, dan menggunakannya secara tepat.
Karena itu, Kominfo bersama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital Indonesia bergerak untuk memberikan pelatihan digital yang menjadi tingkat dasar bagi seluruh lapisan masyarakat.
"Kominfo sesuai dengan arahan Pak Presiden Jokowi menjadi garda terdepan dalam percepatan era transformasi digital. Ini merupakan tugas kita bersama agar kita bisa menjadi pengguna internet yang bijak dan sehat," pungkasnya.