Soal UU PSDN, Negara Diminta Fokus Perkuat Sistem Alusista Dibanding Melatih Sipil
Ketua PBHI Nasional Julius Ibrani menyoroti soal UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Nasional Julius Ibrani menyoroti soal UU No. 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) untuk Pertahanan Negara.
Dimana, ia menyebut bahwa UU tersebut masih mengandung banyak masalah secara substansi.
Setidaknya ada 13 pasal yang bermasalah dalam UU ini, terutama diduga bernuansa pelanggaran yang sangat kental.
Apalagi, kata Julius, melalui UU ini memungkinkan penjagaan proyek strategis negara bisa diserahkan nantinya lewat Komcad.
Hal ini disampaikan Julius Ibrani dalam diskusi bertajuk 'Kritis UU No. 23 Tahun 2019 tentang PSDN dalam Perspektif Politik, Hukum-HAM, dan Keamanan: Jelang Putusan Mahkamah Konstitusif Kerjasama PBHI Lampung dan IMPARSIAL, pada Kamis (16/6/2022).
Baca juga: PBHI Ragukan Pengakuan Ketua MK Anwar Usman Tak Tahu Istrinya Adik Jokowi
"Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Tugas ini tentu tidak ada relevansinya dengan militer, hal ini membuat militer akan menguasai semua lini sektor ," kata Yulius.
Ia juga menilai bahwa UU PSDN ini tidak cocok dan cenderung bertentangan dengan prinsip dasar pembentukan peraturan perundang-undangan.
Di mana, UU ini dibahas dan disahkan dalam waktu yang cepat dan singkat tanpa partisipasi publik yang luas.
Yulius mengatakan, bahwa UU tersebut tidak menghormati prinsip kebebasan berpikir, kebebasan beragama, berkeyakinan karena sifatnya yang memaksa dengan penghukuman.
Sementara, Akademisi yang juga Dosen FH Unila Budiyono menilai pasal-pasal yang ada dalam UU PSDN ini sangat bisa disalahgunakan oleh negara karena bersifat multitafsir.
Seperti siapa yang berhak menafsirkan 'ancaman' yang dimaksud dalam UU ini.
"Seharusnya Negara saat ini fokus untuk memperkuat sistem alutsista negara dibanding melatih sipil dengan kemampuan militer. Karena penyelesaian menggunakan cara-cara militer atau kekerasan sudah bukan saatnya lagi," terangnya.
Sedangkan, Wakil Gubernur FH Unila Desy Putri Aldina memberikan catatan khusus Pasal 4 ayat 2 UU PSDN ini. Dimana, negara tidak menjelaskan ancaman secara jelas sehingga berpotensi terjadinya multitafsir.
Lebih lanjut, dengan melibatkan kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, maka perlunya formula yang apik dalam keterampilan militer.
"Ketika warga sipil dimiliterisasi maka hal tersebut akan menjadi ancaman di daerah-daerah yang rawan konflik sehingga konflik horizontal akan sering terjadi," ujarnya.
Sementara, keprihatinan yang sama disampaikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Al Araf yang menilai UU ini bersifat memaksa. Di Mana warga negara yang tidak ikut mobilisasi dapat dipidana dengan kurungan 4 tahun.
Menurut Al Araf, tentu dibalik semuanya menunjukan sistem pertahanan dan keamanan negara saat ini sangat rapuh.
"Bahkan kondisi alutsista Indonesia hanya 50 persen yang layak pakai berdasarkan buku pertahanan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan. Hal ini membuat kondisi pertahanan dan keamanan Indonesia sangat memprihatinkan dan tidak layak,” tukasnya.