Studi Pertahanan: Mayoritas Negara yang Punya Ibu Kota Negara Darurat Menangkan Perang
Ibu Kota Negara Darurat didominasi oleh kota yang memegang peran penting dalam ekonomi, memiliki medan geografi kompleks, dan punya nilai strategis.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hasil studi berjudul Pertahanan Ibu Kota Negara: Strategis dan Gelar Militer oleh Laboratorium Indonesia 2045 (Lab 45) dan Center of Business and Diplomatic Studies (CBDS) Binus University mengungkap adanya Ibu Kota Negara Darurat penting untuk memenangkan perang.
Dosen Hubungan Internasional Binus University Curie Maharani dalam pemaparannya mengatakan tim peneliti yakin adanya Ibu Kota Negara Darurat menunjukkan ketahanan politik suatu negara untuk meneruskan kemampuan berperangnya.
Namun demikian, kata dia, memang tidak semua Ibu Kota Negara Darurat mendukung kemenangan perang.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar bertajuk Mengkaji Strategi Pertahanan Ibu Kota Nusantara pada Selasa (21/6/2022).
Baca juga: Alasan NasDem Pilih Andika Perkasa Jadi Bakal Capres: Negara Ini Butuh Keamanan dan Pertahanan
"Data set kami menunjukkan bahwa mayoritas negara yang menetapkan IKN Darurat juga memenangkan perang," kata dia.
Ibu Kota Negara Darurat, lanjut dia, didominasi oleh kota yang memegang peran penting dalam ekonomi, memiliki medan geografi kompleks, dan juga punya nilai strategis.
Pertimbangan pemilihan Ibu Kota Negara Darurat, kata dia, merupakan hal yang critical.
"Karena data set ini menunjukkan bahwa kemenangan perang lebih dominan pada IKN Darurat yang dipilih berdasarkan pertimbangan nilai strategis dan karakter medan," kata dia.
Ia mengatakan hikmah terbesar dari data set yang dianalisa dalam penelitian tersebut adalah bahwa mayoritas pertahanan IKN itu gagal mempertahankan ibu kota.
"Dan karenanya opsi fortifikasi tidak bisa menjadi satu-satunya jalan melainkan perlu dilengkapi dengan opsi evakuasi terencana yang meniscayakan pemilihan dan kesiapan pemindahan Ibu Kota Negara ke Ibu Kota Negara Darurat," kata dia.
Curie menjelaskan studi tersebut dilakukan di antaranya karena rencana perpindahan Ibukota dari Jakarta menuju Nusantara menunculkan kerawanan-kerawanan baru.
Sehingga, kata dia, studi tersebut mempertanyakan kembali apakah strategi dan gelar pertahanan IKN yang ada sekarang masih tetap dibutuhkan atau harus dikaji ulang.
Kedua, kata dia, secara khusus strategi pertahanan ibu kota megara belum menjadi perhatian utama dalam literatur mengenai perang.
Padahal, kata dia, ibu kota negara memiliki beberapa kekhasan misalnya kompleksitas perang kota yang sekarang berlangsung di Ukraina dan Rusia.
Kemudian, kata dia, ada perlindungan VIP yang terkait dengan struktur pemerintahan dan politik suatu negara.
Selanjutnya, kata Curie, adanya konsentrasi center of gravity yan kemudian menjadi sumber kekuatan atau kelemahan yang apabila diserang bisa meruntuhkan daya juang suatu negara.
Sejauh yang mereka kaji, lanjut Curie, belum ada studi yang memunculkan faktor determinan efektivitas pertahanan ibukota.
"Pembahasan perang baru dikaitkan dengan konsep seperti center of gravity, fortifikasi, geografi militer, kedalaman strategis, dan sejenisnya," kata dia.
Pertanyaan yang hendak dijawab dalam studi tersebut, kata dia, adalah bagaimana pola-pola pertempuran Ibu Kota Negara dikaitkan dengan operasionalisasi konsep geografi, militer, dan juga konsentrasi CoG.
Dari sana, tim peneliti kemudian menyusun skenario kerawanan ibu kota dan memunculkan satu rekomendasi mengenai strategi pertahanan Ibu Kota Nusantara.
Kajian tersebut, kata dia, bersandar pada metode ilmiah dan metodologi yang diharapkan bisa dipertanggungjawabkan dan direplikasi oleh peneliti lainnya.
"Novelty atau kebaruan dari kajian ini terletak pada data set pertempuran IKN dan Ibu Kota Darurat yang kami bangun dan kembangkan dari data set perang yang dibatasi pada periode 1910 sampai 2007," kata Curie.
Dari data set tersebut, lanjut dia, kemudian dilakukan seleksi terhadap perang mana saja yang memang ada serangan terhadap ibu kota.
Data set tersebut, kata dia, kemudian dimutakhirkan sampai tahun 2021.
Pada akhirnya, kata dia, tim mengubah unit analisisnya dari perang atau kampanye pada level strategis menjadi pertempuran ibu kota pada level yang taktikal.
"Hasilnya adalah 152 pertempuran di 67 negara. Sedangkan data set IKN darurat itu kami buat berdasarkan 17 negara," kata Curie.
Selain itu, kata dia, tim peneliti juga mengembangkan delapan skenario pertempuran ibu kota.
Awalnya, kata Curie, tim berniat untuk mengidenfikasi faktor-faktor keberhasilan pertahanan IKN.
Namun demikian, lanjut dia, ternyata hal tersebut sulit dilakukan.
"Makanya tidak ada satu pun korelasi yang kami lakukan itu memunculkan hasil yang signifikan sehingga kemudian kami hanya mengambil beberapa example cases untuk melihat variasi yang ada," kata dia.
Selain itu, kata dia, tim juga mengkaji dampak perubahan karakter geografi militer dan ancaman IKN yang lama dan yang akan datang.
Tim, kata dia, juga mengidentifikasi gap dari aturan-aturan yang ada dan juga melihat dari sejarah pertahanan ibu kota negara.
"Kami juga kemudian mengkaji relevansi dari gelar dan strategi pertahanan ibu kota yang sekarang dan kemudian memunculkan kebutuhan perubahan paradigma," kata Curie.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.