Ketua MA Bicara Ketidakpastian Hukum yang Disebabkan Pasal Multitafsir UU Narkotika
Sebagai perkara yang paling banyak menjadi beban bagi para hakim maka tindak pidana narkotika juga tidak lepas dari berbagai permasalahan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Dr H M Syarifuddin mengatakan berdasarkan laporan tahunan Mahkamah Agung dalam empat tahun terakhir ini 2017 sampai 2020 tindak pidana narkotika menjadi perkara yang paling banyak diperiksa, ditangani, dan diadili oleh seluruh tingkatan peradilan pidana di Indonesia.
Selain itu, kata dia, jumlah perkara tindak pidana narkotika juga terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Sebagai perkara yang paling banyak menjadi beban bagi para hakim, lanjut dia, tindak pidana narkotika juga tidak lepas dari berbagai permasalahan.
Baca juga: Ketua MA: Disparitas Pemidanaan Perkara Narkotika Bertolak Belakang dengan Tujuan Hukum
Pada praktik penanganan perkara, kata Syarifuddin, kerap kali ditemukan adanya beberapa ketentuan atau pasal-pasal yang multitafsir di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya tindak pidana perederan gelap dan penyalahgunaan narkotika.
Sebagai contoh, lanjut dia, jika seseorang memenuhi unsur penyalahgunaan narkotika pada pasal 127 UU Narkotika maka otomatis dengan sendirinya juga telah memenuhi unsur memiliki atau menguasai narkotika pada pasal 111 atau 112 UU Narkotika.
Hal tersebut, kata dia, sering menimbulkan penerapan kedua pasal berbeda-beda atau sering tertukar satu dan lainnya.
Kesimpangsiuran tafsir pada kedua pasal tersebut, lanjut dia, menggambarkan fenomena inkonsistensi penerapan hukum yang mencederai kepastian hukum.
Hal tersebut disampaikannya dalam Diseminasi Hasil Penelitian Disparitas dan Kebijakan Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika di Indonesia yang digelar Indonesia Judicial Research Society (IJRS) di kanal Youtube IJRS TV pada Selasa (28/6/2022).
"Terlebih lagi kedua pasal tersebut memiliki ancaman pidana yang jauh berbeda, sehingga ketidakpastian hukum tersebut juga akhirnya bermuara pada ketidakadilan," kata Syarifuddin.
Mahkamah Agung, kata dia, telah berusaha menyelesaikan masalah di atas dengan memberlakukan surat edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 2015.
Melalui kesepakatan kamar tersebut, lanjut dia, hakim diperkenankan untuk memutus di bawah ancaman pidana minimum khusus selama fakta hukum di persidangan menunjukkan terdakwa adalah penyalahguna narkotika terhadap terdakwa yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana memiliki atau menguasai narkotika pada pasal 111 atau pasal 112 UU Narkotika.
"Hanya saja, solusi ini belum menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh karena terhadap terdakwa tetap dinyatakan melakukan pasal 111 atau pasal 112 UU Narkotika. Sehingga peluang untuk menjatuhkan rehabilitasi menjadi tertutup," kata Syarifuddin.