Juri Ardiantoro: Perubahan Undang-undang Sisdiknas Harus Diarahkan pada Dua Tujuan Visi Presiden
Juri Ardiantoro mengingatkan perubahan undang-undang pendidikan itu diarahkan pada dua tujuan visi presiden.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Ikatan Alumni (IKA) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2021-2025, Juri Ardiantoro mengungkapkan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) perguruan tinggi yang mendidik calon guru saat ini dinilai sudah tidak ada.
Pandangan Juri ini diungkapkan saat menjadi salah satu dari enam narasumber diskusi online reboan di Forum Diskusi Pedagogik Pusat Kajian Pedagogik IKA UNJ beberapa waktu lalu.
Menurut Juri Ardiantoro, apapun namanya, selama ada langkah untuk melakukan perubahan perbaikan perlu diapresiasi. Termasuk Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mengintegrasikan minimal tiga UU pendidikan.
"Indonesia terkenal sebagai negara yang banjir peraturan. Kita ini senang sekali membuat aturan turunan, mulai dari peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan kepala daerah hingga surat edaran," kata Juri, Sabtu (2/7/2022).
Baca juga: Kemendikbudristek: RUU Sisdiknas Masih dalam Tahap Perencanaan
Namun seharusnya, kata Juri, perubahan undang-undang pendidikan itu diarahkan pada dua tujuan visi presiden.
"Yakni, bagaimana menjadi dasar, dan menjadi pegangan kita dalam membangun sumber daya manusia ke depan, kedua menata regulasi – regulasi yang selama ini bertebaran."
Kenyataannya, menurut Juri, pada subtansi RUU terdapat beberapa kontroversi, salah satunya LPTK sebagai perguruan tinggi pendidikan guru tidak di-mention di dalam RUU Sisdiknas.
“Lalu apa bedanya lulusan sarjana pendidikan dengan sarjana umum jika untuk menjadi guru sama-sama harus melalui PPG ? Perubahan ini seharusnya memperbaiki pasal yang dirasakan tidak adil untuk para sarjana pendidikan,” ungkap Juri Ardiantoro.
Diskusi ini juga menampilkan sejumlah pembicara lain di antaranya Prof Syawal Gultom, Enggartiasto Lukita, Prof Hasnawi Haris, Prof Unifah Rasyidi, Jimmy Philip Paat.
Sementara Rektor Universitas Negeri Jakarta Komarudin menyatakan RUU Sisdiknas 2022 belum menunjukkan filosofi yang sesuai harapan karena di dalamnya tidak membahas detil dasar filsafat pendidikan, baik universal maupun khas Indonesia.
Menurut Komarudin, persepsi LPTK yang seolah-olah tidak ada perannya memang jelas sekali dalam RUU Sisdiknas 2022.
Jika semangat RUU Sisdiknas 2022 sebagai Omnibus Law di bidang pendidikan, maka juga harus mencantumkan aturan terkait LPTK.
Ketiadaan klausul LPTK ini harus disikapi secara bijaksana: Diperjuangkan agar masuk, dan LPTK harus melakukan revitalisasi dirinya.
“Keberadaan RUU Sisdiknas 2022, harus dipandang sebagai semacam “lampu kuning” bagi LPTK. Jika tidak melakukan evaluasi dan revitalisasi, RUU Sisdiknas bisa menjadi “lampu merah” bagi LPTK,” kata Komarudin.
Menurut Komarudin, revitalisasi LPTK itu merupakan keharusan.
“Jika upaya strategis revitalisasi LPTK sebagaimana telah diuraikan tidak segera dilaksanakan, bukan tidak mungkin LPTK akan kehilangan peran bukan hanya di RUU Sisdiknas 2022 tetapi juga dalam sistem pendidikan nasional,” ungkap Rektor UNJ, Komarudin.
Baca juga: Masyarakat Diminta Kawal Perumusan RUU Sisdiknas untuk Mencegah Terjadinya Penyimpangan
Senada dengan Komarudin, Ketua Umum PP IKA UPI, Dr. (HC) Enggartiasto Lukita, sepakat bila revitalisasi LPTK tidak bisa ditunda-tunda lagi.
“Kita harus melakukan evaluasi dulu, bagaimana melakukan evaluasi atas kinerja - kinerja LPTK, agar mampu menyiapkan lulusan agar mampu menguasai dua subjeck utama: yaitu subject content knowledge, dan pedagogical content knowledge. Kita harus jujur ada persoalan cukup besar, yaitu mengendalikan pertumbuhan LPTK swasta. Dan keseimbangan antara supply dan demand guru, jumlah mahasiswanya. Berjamurnya LPTK swasta, saya pakai bahasa terang saja, yang abal-abal, yang asal cepat mengeluarkan sertifikat tampaknya perlu ditertibkan, dan kita mendorong pemerintah untuk mengambil langkah untuk itu,” ungkap Enggartiasto.
Terkait dengan ketiadaan klausul LPTK di RUU Sisdiknas, Menteri Perdagangan RI 2016-2019 memberikan komentar yang fundamental dalam presentasinya. “Mau dibawa ke mana pendidikan nasional kalau LPTK tidak ada dalam RUU Sisdiknas?" tanya Enggar.
Di tempat yang sama, Syawal Gultom menggambarkan betapa telah berkembang pikiran-pikiran yang memandang kenapa pendidikan guru harus melalui universitas eks IKIP. Kenapa tidak cukup dengan melalui training-training saja.
“Pendapat seperti itu banyak dan mungkin sudah banyak mempengaruhi diskusi-diskusi penyusunan RUU Sisdiknas. Kita selalu sepakat bahwa pendidikan guru, mulai dari S1 pendidikan akademik, itu satu paket dengan pendidikan profesi. Tidak mungkin mencetak guru dengan PPG yang satu tahun itu."