Yusril Ihza Mahendra: Mahkamah Konstitusi Berubah Jadi The Guardian of Oligarchy
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.
Hal itu dikatakan Yusril setelah MK menolak gugatannya soal Presidential Threshold atau syarat ambang batas pencalonan presiden dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Karena itu, Yusril menilai MK bukan lagi sebagai penjaga tegaknya demokrasi melainkan telah berubah menjadi the guardian of oligarchy.
"MK bukan lagi “the guardian of the constitution” dan penjaga tegaknya demokrasi, tetapi telah berubah menjadi “the guardian of oligarchy”," kata Yusril dalam keterangannya yang diterima, Jumat (8/7/2022).
Ia menganggap ditolaknya permohonan PBB dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) oleh MK justru mengancam demokrasi.
"Dengan ditolaknya permohonan PBB dan para anggota DPD ini, serta juga permohonan-permohonan yang lain yang akan diajukan, maka demokrasi kita kini semakin terancam dengan munculnya oligarki kekuasaan," ujar dia.
Menurutnya, ditolaknya permohonan itu juga berakibat pada calon presiden dan wakil presiden yang muncul hanya dari kekuatan politik besar di DP.
"Yang muncul hanya itu-itu saja dari dari kelompok kekuatan politik besar di DPR yang baik sendiri atau secara gabungan mempunyai 20 persen kursi di DPR," ucapnya.
Baca juga: Didukung Relawan Kopisusi Jadi Capres 2024, Susi Pudjiastuti Bicara Soal Presidential Threshold
Yusril menganggap terjadi keanehan dalam demokrasi di Tanah Air dikarenakan calon presiden yang maju, yakni didukung parpol berdasarkan treshold hasil Pileg lima tahun sebelumnya.
"Padahal dalam lima tahun itu, para pemilih dalam Pemilu sudah berubah, formasi koalisi dan kekuatan politik juga sudah berubah. Namun segala keanehan ini tetap ingin dipertahankan MK," ungkap Yusril.
Lebih lanjut, Yusril juga membantah argumentasi MK soal norma Pasal 222 itu adalah untuk memperkuat sistem Presidensial.
Padahal, kata dia, executive heav yang ada dalam UUD 1945 sebelum amandemen sudah sejak lama ditentang.
"UUD 1945 pasca amandemen justru menciptakan check and balances antar lembaga negara. Tidak ada hubungan korelatif antara presidential treshold dengan penguatan sistem presidensial sebagaimana selama ini didalilkan MK," ucap Yusril.
Yusril juga menepis argumentasi MK soal Pasal 222 UU Pemilu merupakan open legal policy presiden dan DPR.
Baca juga: Saiful Mujani Sebut Presidential Treshold Tinggi, Kesempatan Pemilih Dapat Calon yang Fresh Tertutup
"Saya berpendapat, meskipun itu open legal policy, MK tetap berwenang untuk menguji apakah open legal policy yang dihasilkan sejalan dengan norma konstitusi atau tidak," ungkap Yusril.