Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pakar Kesehatan Mendukung Penerapan Terapi Profilaksis Hemofilia, Ini Alasannya

Terapi profilaksis dengan obat inovatif menjadi bagian dari rencana pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pengobatan pasien hemofilia

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Erik S
zoom-in Pakar Kesehatan Mendukung Penerapan Terapi Profilaksis Hemofilia, Ini Alasannya
Boldsky
(ilustrasi hemofilia) Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia karena terbukti lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya, seperti kerusakan sendi dan kecacatan fisik.  

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terapi profilaksis dengan obat inovatif menjadi bagian dari rencana pemerintah dalam meningkatkan pelayanan pengobatan pasien hemofilia

Hal itu tercantum sebagai rekomendasi dalam Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Hemofilia. 

Baca juga: Pengobatan Maksimal Pasien Hemofilia Dapat Hindari Risiko Kecacatan Hingga Kematian

Meski begitu, kepastian soal ketersediaan obat dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih dipertimbangkan pemerintah hingga saat ini, terutama dari aspek ekonomi.

“Pengobatan untuk pasien hemofilia masih terkendala dalam aspek ketersediaan, akses pembiayaan yang terbatas, dan jumlah rumah sakit yang dapat memberikan terapi. Sementara, bila terapi dilakukan tidak optimal, pasien berisiko mengalami kerusakan sendi,” kata Anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Novie Amalia Chozie dalam siaran pers, Jumat (8/7/2022).

Pakar kesehatan mendukung penerapan terapi profilaksis hemofilia karena terbukti lebih ampuh secara klinis dalam mencegah perdarahan dan komplikasinya, seperti kerusakan sendi dan kecacatan fisik. 

Dokter Novie menjelaskan, terapi profilaksis untuk pasien hemofilia dapat berupa faktor pembekuan darah, bypassing agent (BPA), dan obat nonfaktor seperti emicizumab.

Berita Rekomendasi

Terapi profilaksis dengan obat inovatif telah terbukti lebih ekonomis dari segi biaya. 

Studi lokal Clinical Epidemiology and Evidence-Based Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM (CEEBM FKUI-RSCM) terhadap kelompok pasien hemofilia dengan inhibitor menunjukkan, terapi profilaksis dengan obat non-faktor (emicizumab) berpotensi menekan pengeluaran BPJS Kesehatan untuk pengobatan hemofilia sebesar Rp51,9 miliar dalam lima tahun dibandingkan dengan terapi standar. 

Baca juga: Laki-Laki Lebih Rentan Mengalami Hemofilia

Penghematan tersebut terjadi karena biaya pengobatan perdarahan dan komplikasi yang muncul dari terapi standar saat ini dapat dihindari. 

Dalam acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI), Anggota Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) dr. Fitri Primacakti menjelaskan, bantuan JKN untuk pasien hemofilia masih ada kendala soal keterbatasannya. 

Selain itu, implementasi terapi profilaksis dosis rendah maupun terapi home treatment kepada pasien hemofilia juga masih terbatas.

Baca juga: Pasien Hemofilia Belum Terdiagnosis Sepenuhnya, HMHI Sebut Perlu Peran Masyarakat


 
“Dengan adanya JKN ini, bisa meng-cover kebutuhan pasien hemofilia. Tetapi, untuk pasien dengan perdarahan berat, atau bahkan pasien-pasien yang memerlukan tindakan operasi, masih menjadi kendala karena klaim dan pilihan terapinya sangat terbatas,” kata dr. Fitri.

Rencana Pemerintah

Dari sisi pembiayaan, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan (Pusjak PDK) dr Yuli Farianti menjelaskan, pemerintah meninjau tarif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan klasifikasi ulang penyakit-penyakit sesuai kondisinya. 

Upaya ini sedang terus dioptimalkan oleh pemerintah agar para pasien mendapatkan obat-obatan yang lebih efektif. 

Baca juga: Kelainan Darah Sulit Membeku, Kenali Gejala dan Penyebab Hemofilia

 
“Pemerintah juga sedang meningkatkan peranan Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK) dalam rangka menilai teknologi, alat kesehatan, maupun obat-obatan baru agar bisa masuk ke dalam manfaat tanggungan JKN,” kata dr Yuli.

Pemerintah melihat obat profilaksis inovatif hemofilia sudah sejalan dengan rencana untuk meningkatkan pelayanan pasien hemofilia.

Pada acara peringatan Hari Hemofilia Sedunia 2022 HMHI (26/04/2022), Sekretaris Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI Dita Novianti Sugandi Argadiredja menyatakan, pemerintah mempertimbangkan aspek benefit, efektivitas, khasiat, dan aspek-aspek lainnya dalam upaya memperluas akses pengobatan.

Rencana pemerintah tersebut perlu segera terealisasi agar sejalan dengan kebutuhan pasien akan adanya terapi profilaksis hemofilia yang terbukti efektif secara klinis maupun ekonomis.

Terbukti Efektif

Icha mengatakan, terapi profilaksis dengan obat inovatif sangat dibutuhkan anaknya yang mengidap hemofilia gejala berat. 

Kondisi tersebut memaksa anaknya harus membatasi aktivitas sehari-hari. 

Hal itu berlangsung hingga anaknya sempat mendapatkan terapi profilaksis.

“Setelah anak saya menggunakan obat profilaksis inovatif itu tidak ada perdarahan dan keluhan apa pun. Dia jadi sehat seperti anak lain yang tidak memiliki hemofilia,” kata orang tua pasien, Icha.

Icha menambahkan, anaknya bisa berolahraga dan aktivitas fisik yang berat berkat terapi tersebut. 

Terapi tersebut juga dinilai sangat efektif untuk anaknya karena penyuntikan hanya dilakukan selama satu kali untuk satu bulan. 

Baca juga: Pakai JKN-KIS Segmen PBI, Penderita Hemofilia Ini Tak Rasakan Perbedaan Layanan

Ia berharap, pengobatan ini segera bisa ditanggung oleh pemerintah yaitu BPJS sehingga anaknya, dan juga seluruh pasien hemofilia di Indonesia, bisa menikmati terapi yang lebih efektif.

Masuknya terapi profilaksis inovatif ke dalam jaminan JKN akan meningkatkan kualitas hidup pasien hemofilia

Studi membuktikan terapi profilaksis hemofilia dengan obat inovatif dapat memberikan kontribusi penghematan untuk JKN. 

Untuk mewujudkan rencana perluasan akses pengobatan hemofilia, pemerintah perlu menerapkan terapi profilaksis hemofilia yang telah terbukti secara klinis dan ekonomis ke dalam skema JKN. 

Tertundanya obat inovatif untuk masuk jaminan JKN tidak hanya menunda peningkatan kualitas hidup pasien tetapi juga membiarkan potensi penghematan yang bisa dicapai pemerintah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas