Dokter Forensik Ungkap Masukan Keluarga Brigadir J soal Luka Selain Luka Tembak: Itu Jadi Fokus Kami
Tim Dokter Forensik menyebut dugaan adanya luka selain luka tembak yang diungkap keluarga Brigadir J menjadi fokus utama autopsi ulang.
Penulis: Faryyanida Putwiliani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Ketua Tim Dokter Autopsi, Ade Firmansyah Sugiharto, mengungkapkan sebelum pelaksanaan autopsi ulang jenazah Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, tim dokter forensik sempat dipertemukan dengan pihak keluarga.
Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga Brigadir J dan kuasa hukumnya memberikan masukan agar tim dokter bisa memeriksa adanya dugaan luka lain selain luka tembak yang dicurigai pihak keluarga.
Ade pun menyebut dugaan luka-luka pada tubuh Brigadir J yang meninggal akibat baku tembak dengan Bharada E di rumah Kadiv Propam Nonaktif Irjen Ferdy Sambo tersebut akan dikonfirmasi oleh tim dokter.
Bahkan, Ade menekankan dugaan luka-luka itu akan menjadi fokus pemeriksaan dari tim dokter forensik.
Namun, tim dokter forensik juga akan tetap melakukan pemeriksaan menyeluruh pada jenazah Brigadir J, layaknya autopsi biasa.
"Ada masukan dari keluarga dan penasehat hukumnya bahwa ada beberapa tempat yang diduga atau dicurigai keluarga sebagai adanya perlukaan-perlukaan lain selain luka tembak."
Baca juga: Hasil Autopsi Ulang Brigadir J Selesai 4-8 Minggu, Jenazah Dimakamkan Secara Kedinasan
"Nah itu memang yang akan kami konfirmasi dan itu menjadi fokus pemeriksaan kami, sekalipun kami melakukan pemeriksaan secara menyeluruh, autopsi biasa. Tetapi tentunya kami ada fokus-fokus sesuai masukan dari keluarga dan penasehat hukum itu," kata Ade dalam tayangan video di kanal YouTube Kompas TV, Rabu (27/7/2022).
Lebih lanjut, Ade pun mengungkapkan apa saja yang diperiksa oleh tim dokter forensik saat proses autopsi ulang Brigadir J.
Ade menyebut timnya di antaranya memeriksa luka pada tubuh Brigadir J yang memang diyakini sebagai luka untuk diketahui jenis lukanya.
Selain itu, juga diperiksa apakah luka tersebut terjadi sebelum kematian atau setelah kematian.
Baca juga: Dugaan Brigadir J Tewas di Magelang Terpatahkan, Komnas HAM Ungkap Momen Tawa Ajudan Ferdy Sambo
"Yang kami periksa terutama pada luka yang kami yakin sebagai luka, itu luka apa, dan apakah luka itu terjadi sebelum kematian atau setelah kematian," terang Ade.
Kemudian Ade dan tim dokter juga memeriksa temuan luka berdasarkan informasi dari keluarga Brigadir J dan kuasa hukumnya.
Ade menambahkan, temuan luka yang diungkap dari pihak keluarga tersebut harus diperiksa lebih lanjut.
Terutama terkait intravital lukanya, apakah benar luka atau tidak
Baca juga: Jenazah Brigadir J Kembali Dimakamkan Pasca-autopsi, Dilakukan Upacara Secara Kedinasan
"Lalu pada luka yang berdasarkan informasi yang didapatkan dari keluarga dan penasehat hukumnya. Ada beberapa tempat yang diduga secara penglihatan mereka adalah luka, maka disitu menjadi fokus juga penelitian kami untuk diperiksa."
"Tentu itu harus diperiksa intravital lukanya, apakah betul itu luka. Kalau memang betul luka, apakah itu luka yang terjadi sebelum atau setelah kematian," pungkasnya.
Baca juga: Berharap Penuhi Rasa Keadilan, Kapolri Minta Masyarakat Awasi Penanganan Kasus Kematian Brigadir J
Jika Ada Perbedaan Hasil, Autopsi Ulang Brigadir J Disebut Bisa Timbulkan Persoalan Penanganan Kasus
Diwartakan Tribunnews.com sebelumnya, autopsi ulang atas Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat disebut bisa menimbulkan sejumlah persoalan.
Selain berpotensi terjadi perbedaan simpulan hasil, proses autopsi pun mempunyai tingkat kesulitan yang lebih tinggi karena faktor pembusukan jenazah dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Kemungkinan hasil autopsi ulang yang akan diperoleh adalah sama dengan hasil autopsi yang pertama; atau berbeda atau ada temuan baru dibandingkan hasil autopsi sebelumnya.
Perbedaan hasil autopsi akan menimbulkan persoalan pada penanganan kasus selanjutnya.
Terutama terkait hasil autopsi mana yang akan digunakan dalam proses persidangan, apa dampak berikutnya, lalu bagaimana nasib para dokter yang melakukan pemeriksaan pada autopsi sebelumnya?
Baca juga: Bharada E Tenang Jawab Pertanyaan, Komnas HAM Sebut Bahkan Nonton Tayangan Kasus Tewasnya Brigadir J
Tak hanya itu persoalan lainnya yakni terkait nasib para dokter tersebut, apakah bisa dipersalahkan, adakah faktor tekanan dalam menyimpulkan hasil autopsi, serta apakah terjadi pelanggaran etik, disiplin dan hukum.
Apabila terjadi perbedaan hasil autopsi dan terbukti para dokter telah melakukan pelanggaran etika, disiplin dan hukum, Kode Etik Kedokteran Indonesia khususnya Pasal 14 menyatakan, ”Seorang Dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan seluruh keilmuan untuk kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/keluarganya, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk itu.”
Selain itu, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya Pasal 51 ayat (a) menyatakan, "Dokter mempunyai kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien."
Lalu berdasarkan Pasal 242 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dinyatakan, “Barang siapa dalam hal–hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Baca juga: LPSK Pastikan Sudah Surati Orang Tua Brigadir J untuk Tawarkan Perlindungan, Tapi Belum Direspon
Persoalan berikutnya adalah tidak optimalnya proses autopsi ulang yang dilakukan karena jenazah telah mengalami pembusukan dan faktor tindakan yang telah dilakukan pada autopsi sebelumnya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat menilai pada jenazah yang telah mengalami pembusukan, bukti-bukti yang terdapat pada jenazah akan semakin kabur.
"Idealnya, semua prosedur dalam bongkar makam memang harus dilakukan sesegera mungkin sehingga bukti-bukti masih dapat ditemukan," tulis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum dan Mediasi Kesehatan Rakyat dalam keterangan yang diterima, Rabu (27/7/2022).
Sebagaimana diketahui, autopsi atau bedah mayat dilakukan dengan membuka semua rongga mulai dari kepala, leher, dada dan perut serta melakukan pemeriksaan organ-organ untuk mengetahui adanya kelainan akibat kekerasan maupun penyakit.
Bila diperlukan dapat dilakukan pengambilan sampel isi lambung, darah, urin maupun sebagian jaringan untuk dilakukan pemeriksaan toksikologi atau histopatologi.
Baca juga: Kesaksian Anwar, Penggali Makam yang Lihat Wajah Jenazah Brigadir J Masih Utuh
Berbeda dengan autopsi klinis, autopsi forensik dilakukan pada kasus kematian yang mencurigakan, disertai kekerasan, atau tidak diketahui penyebabnya.
Autopsi Forensik dilakukan setelah ada permintaan dari Penyidik yang berwenang sesuai Pasal 133 KUHAP:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Baca juga: Dokter Forensik: Meski Jenazah Brigadir J Masih Utuh, Autopsi Ulang Cukup Rumit Dibanding Pertama
Ekshumasi merupakan tindakan penggalian kembali jenazah yang telah dikubur.
Tujuan dari prosedur ini adalah untuk kepentingan peradilan dalam upaya pembuktian suatu kasus dengan mengidentifikasi jenazah guna memastikan penyebab kematian.
Dasar hukum penggalian mayat adalah Pasal 135 KUHAP yang menyatakan, "Dalam hal Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134 ayat (1)."
"Kasus ini akan menjadi pembelajaran. Semoga penegakan hukum di negeri tercinta ini menjadi lebih baik dengan prosedur yang benar, imparsial, independen, dan transparan," tulisnya.
(Tribunnews.com/Faryyanida Putwiliani/Wahyu Aji)