Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kenaikan PNBP Bikin Nelayan Enggan Laporkan Hasil Tangkapan karena Terbebani

Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat memberatkan nelayan kecil.

Penulis: Eko Sutriyanto
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Kenaikan PNBP Bikin Nelayan Enggan Laporkan Hasil Tangkapan karena Terbebani
WARTA KOTA/YULIANTO
Ilustrasi nelayan. Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat memberatkan nelayan kecil. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Eko Sutriyanto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Maritim, Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan, sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat memberatkan nelayan kecil.

Misalnya, terkait kenaikan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Sesuai PP tersebut, PNBP yang dikenakan nelayan menjadi sekitar 5-10 persen padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen.

"Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT dan aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP," kata Marcellus Hakeng Jayawibawa dalam keterangan persnya di Jakarta, Minggu (31/7/2022).

Baca juga: Kapal Nelayan yang Karam di Pantai Sadeng Gunungkidul Berhasil Dievakuasi Saat Air Laut Pasang

Akibat peraturan itu, kata dia menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani.

"Situasi itu tentu berdampak pada ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah," kata Hakeng.

Berita Rekomendasi

Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (FORKAMI) tersebut menambahkan, rencana dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil.

Baca juga: Nelayan Berusia 65 Tahun Tewas Tenggelam Usai Sampannya Terbalik karena Diterjang Ombak Besar

Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di sejumlah wilayah pengelolaan Perikanan yang artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika diterapkan.

"Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil karena sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya," kata Hakeng.

Karena itu, tidak ada salahnya KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia.

Baca juga: Pengukuran Kapal Ikan Tanpa Biaya, 93 Nelayan Antusias Ikut Gerai Pengukuran Kapal di Tanjung Emas

"Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema Kredit Usaha Rakyat bagi nelayan kecil," ujarnya.

Hambatan lain yang dihadapi nelayan untuk penangkapan ikan adalah mengenai retribusi atau pungutan izin daerah dalam pengurusan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).

Nelayan di Indonesia, tambah dia juga masih menghadapi masalah serius terkait penyediaan bahan bakar solar subsidi karena patut diduga masih ada pemanfaatan solar oleh pihak yang seharusnya tidak berhak.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas