Mengapa Istri Ferdy Sambo Tidak Pernah Muncul di Publik, Ini Jawaban Kuasa Hukum
Kasus pelecehan seksual oleh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J masih menyimpan pertanyaan besar.
Penulis: Reynas Abdila
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus pelecehan seksual oleh Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J masih menyimpan pertanyaan besar.
Pasalnya, PC inisial istri mantan Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Pol Ferdy Sambo selaku pelapor belum juga muncul ke publik.
Tim Kuasa Hukum PC Patra M Zen mempunyai jawaban atas pertanyaan publik mengapa kliennya belum mau memberi pernyataan.
"Kalau soal munculnya di publik kalau soal dia mau memberikan keterangan tentu hak beliau tapi yang saya bisa pastikan ada psikolog klinis yang memberikan asesmen penilai," kata Patra di kantor Tribun Network, Jakarta, Jumat (5/8/2022).
Baca juga: Soal Istri Ferdy Sambo, Penyidik Wajib Percaya Korban Pelecehan Seksual
Menurutnya, keberadaan psikolog klinis sangat penting dalam konseling dan pendampingan.
"Kalau psikolognya bilang nggak baik dia memberikan keterangan, enggak baik dia keluar, iya tentu pihak keluarga melarang," lanjut dia.
Simak lanjutan wawancara Wakil Direktur Pemberitaan Domuara Damianus Ambarita dengan Pengacara Istri Ferdy Sambo Patra M Zen:
Bagaimana tim kuasa hukum ibu PC dapat menjawab keraguan publik terkait bintara melecehkan istri jenderal?
Jadi begini dalam peraturan perundangan yang memberikan laporan atau korban kekerasan seksual dia punya hak untuk didampingi ke psikolog, baik psikolog klinis maupun dalam proses penyidikan dia akan diobservasi oleh psikologi forensik.
Ini punya keahlian, jadi konteksnya adalah memberikan keterangan pada saat memberikan keterangan itu bukan seperti BAP orang yang tindak pidana korupsi, bukan. Hanya diverifikasi benar enggak ibu melapor, benar. Kapan kejadiannya ya, tanggalnya disebut, bagaimana itu kejadiannya ya,
Nah itu keterangannya kalau sudah diberikan itu sudah cukup, Kenapa karena memang undang-undang 12 dia, beda dengan pembuktian umum korban kekerasan.
Bayangkan undang-undang kita mengatur hanya keterangan korban dan saksi bersesuaian dengan alat bukti lain itu sudah bisa orang dijadikan tersangka, maupun divonis.
Saya senang betul ini sebagai salah satu kampanye sosialisasi bagi saya untuk mau bilang sama tribunners bahwa kita punya undang-undang 12 Tahun 2022 sekaligus memberitahukan media agar memberitakan korban kekerasan sebenarnya enggak boleh sebut nama itu. Harus pakai inisial.
Bukan karena beliau satu terkenal karena suaminya jenderal sehingga harus diinisialkan karena tindakan asusila?
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.