26 Tahun Berlalu, Perkara Kudatuli Masih Bolak-balik Antara Polisi dan Kejaksaan
Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan terkait kasus kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mendesak Komnas HAM melakukan penyelidikan terkait kasus kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
Pasalnya, sudah 26 tahun berlalu, belum ada satu pun pihak-pihak yang bersalah diajukan ke pengadilan.
Koordinator TPDI Petrus Selestinus menilai selama puluhan tahun kasus Kudatuli mengendap, meski pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.
Perkara pidananya, kata dia, mandek di kejaksaan dan bolak-balik antara kejaksaan dan kepolisian.
"Kami menuntut bawa perkara ini ke pengadilan, sidangkan mereka. Bahwa nanti mereka dihukum atau putus itu sepenuhnya kewenangan pengadilan,” tegas Petrus dalam diskusi memperingati 26 tahun peristiwa Kudatuli bertajuk, “26 Tahun Reformasi dan Demokrasi Tergadaikan" di Jakarta, Kamis (11/8/2022).
Baca juga: Peringati Kudatuli, PDIP Gelar Tabur Bunga dan Doa Bersama di Jalan Diponegoro Jakarta
Diskusi itu juga menghadirkan pembicara Ketua Setara Institute Hendardi dan wartawan Senior Tri Agung Kristianto serta Kristin Samah sebagai moderator serta ketua penyelenggara diskusi, Turman M Panggabean.
Untuk para korban, Petrus meminta harus ada pertanggungjawaban.
Komnas HAM, kata dia, bisa menggunakan kewenangannya melakukan mediasi antara Pemerintah dengan korban.
“Mari duduk bersama membicarakan ini. Jangan bikin seolah-olah santunan karena mereka bukan mengurus fakir miskin!,” tegas Petrus.
Selain itu, Petrus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melakukan konsolidasi kembali untuk meluruskan sejarah perjuangan reformasi.
Soalnya, cita-cita reformasi yang telah mengubah konstitusi dan undang-undang dalam prakteknya saat ini sudah melenceng jauh.
“Karena melenceng jauh, maka cita-cita reformasi perlahan-lahan sudah mulai dilupakan," tuturnya.
Petrus menyebut Megawati Soekarnoputri sebagai pejuang reformasi. Putri Bung Karno itu dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat kecil.
“Kalau enggak ada perlawanan dari Bu Mega, mungkin Soeharto akan menjadi Presiden seumur hidup,” kata dia.