Usulan Politisi Demokrat agar Kapolri Dinonaktifkan Berbuah Kritik: Sangat Emosional dan Subjektif
Benny K Harman mengusulkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dinonaktifkan dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir J. Tapi usulan itu tuai kritik.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Anggota Komisi Hukum DPR Benny Kabur Harman yang mengusulkan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dinonaktifkan menuai kritik.
Satu di antaranya datang dari Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) yang menilai pernyataan politisi Demokrat tersebut merupakan bentuk upaya untuk melakukan depresiasi terhadap kinerja Kepolisian.
"Ada upaya untuk melakukan depresiasi terhadap kinerja Kepolisian dalam hal ini Pak Kapolri. Terkait kasus Brigadir J ini mestinya beliau mendapatkan apresiasi, kok malah sebaliknya," ujar Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), Muhamad Ikram Pelesa, Senin (22/8/2022).
Lebih jauh Ikram menjelaskan, masyarakat perlu mengetahui proses penangan kasus Brigadir J secara utuh.
Di mana ketika peristiwa serupa terjadi, maka yang harus mengamankan TKP adalah Polsek/Polres melalui Kasatreskrimnya.
Setelah itu Kasatreskrim/Kapolres melakukan koordinasi dengan dirkrimum Polda/Kapolda. Lanjut ke Dirpidum Bareskrim Polri/Kabareskrim Polri.
"Nanti ketika dianggap tidak mampu barulah Kapolri mengambil alih. Ini kok malah dibalik-balik," jelasnya.
Baca juga: Usulan Kapolri Dinonaktifkan Dalam Kasus Tewasnya Brigadir J Tuai Polemik dan Buat Kacau
Ikram juga mempertanyakan pihak-pihak yang melakukan upaya depresiasi ini kenapa tidak melakukan upaya pengawasan dan pengawalan terhadap kasus Duren Tiga ini, tetapi malah menyerang Kapolri yang sedang fokus menuntaskan kasus tersebut.
"Yang jadi pertanyaan adalah apakah pernah para pihak-pihak yang melakukan upaya depresiasi kinerja Kapolri ini mempressing penanganan kasus distruktur bawah, kan mereka mestinya dimintai pertanggung jawabannya?," ujar Ikram.
Ikram menegaskan, seharusnya tindakan dan sikap tegas dari Kapolri dalam kasus Duren Tiga ini harus mendapatkan apresiasi dari pihak Komisi III DPR RI, sebab atas atensi Kapolri semua teka-teki terjawab, masyarakat menemukan kepuasannya dalam kasus ini.
Ia juga meminta Pemerintah dan DPR RI untuk turut mendinginkan suasana, mendukung penuh reformasi di tubuh Polri, dan mempercayakan penangangan kasus ini kepada Kapolri.
"Kami mendukung upaya pak kapolri dalam melakukan reformasi pada institusi, sudah saatnya Pak Kapolri melakukan bersih-bersih," pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman mengusulkan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dinonaktifkan dalam penanganan kasus pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang diotaki Irjen Ferdy Sambo.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali mengatakan usulan Benny K Harman tersebut sarat emosional dan subjektif.
"Pernyataan Benny K Harman menurut saya emosional dan subjektif, karena hanya Benny saja yang hari ini bicara seperti tadi," kata Ali di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2022).
Ali menegaskan semua orang harus membuka matanya melihat sikap Kapolri dalam penanganan kasus ini.
Dengan ketegasan Kapolri, kata dia, kasus penembakan di rumah Irjen Ferdy Sambo bisa diusut dengan tuntas.
Wakil Ketua Komisi III: Apa dengan Diganti Jadi Lebih Baik?
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa mengatakan, pihaknya tak setuju dengan usulan penonaktifan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terkait kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Menurut dia, penonaktifan Kapolri tak lantas membuat penanganan kasus dugaan pembunuhan Brigadir J menjadi terang benderang.
"Kita lihatlah apakah dengan diganti Kapolri semakin baik? Kan belum tentu juga," kata Desmond di Gedung DPR, Jakarta, Senin (21/8/2022).
Ia menyebut, Kapolri sejauh ini sudah cukup baik dalam mengungkap tabir misteri peristiwa tersebut.
Dalam kasus ini, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Tiga di antaranya anggota Polri, yakni Irjen Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E, Bripka Ricky Rizal atau Bripka RR.
Dua lainnya adalah istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, dan Kuat Maruf, seorang asisten rumah tangga Ferdy Sambo.
Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dijerat dengan Pasal 340 subsider 338 juncto 55 dan 56 KUHP.
"Saya sih melihat Kapolri hari ini, dengan kebongkarnya ini ada kemauan Pak Sigit memperbaiki diri," ujarnya.
Menurut politikus Partai Gerindra itu, Kapolri sudah kembali membangun kepercayaan masyarakat dengan penanganan kasus pembunuhan Brigadir J.
"Kalau saya pribadi, apa pun ini luar biasa. Kalau saya, jujur aja saya apresiasi. Kalau diganti orang baru, apakah sama seperti yang sudah berjalan hari ini? Kan ada pertanyaan," katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diberhentikan sementara terkait kasus pembunuhan Brigadir J.
Menurut Benny, jabatan itu bisa diambil alih oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Ia menilai publik sudah tidak percaya dengan kepolisian dalam mengusut kasus pembunuhan berencana yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo tersebut.
"Mestinya Kapolri diberhentikan sementara, diambil alih oleh Menko Polhukam untuk menangani kasus ini supaya objektif dan transparan," kata Benny di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/8/2022).
Ia menjelaskan, ketidakpercayaan publik terhadap Polri dalam penanganan kasus Ferdy Sambo lantaran Polri awalnya mengumumkan kepada publik bahwa Brigadir J tewas akibat baku tembak.
Namun, setelah keluarga curiga dan publik menyoroti lebih jauh, Polri mengusut kembali lalu mengumumkan hal yang berbeda.
"Kita enggak percaya polisi. Polisi kasih keterangan publik. Publik ditipu, juga kita kan. Kita tanggapi ternyata salah. Jadi publik dibohongi oleh polisi," ujarnya.
Komisi III DPR Gelar Rapat Bersama Kompolnas, Komnas HAM dan LPSK
Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat (RDP) untuk membahas kasus pembunuhan berencana Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.
Adapun rapat itu dilakukan bersama Komnas HAM, Kompolnas, dan LPSK.
Hadir dalam RDP tersebut Ketua Kompolnas yang juga Menkopolhukam Mahfud MD, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dan Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.
Mahfud MD mengatakan bahwa pihaknya mempunyai dua sikap terhadap kasus ini yang berubah dari skenario pertama dan kedua.
"Jadi ketika peristiwa ini diumumkan tanggal 11 Juli, Kompolnas langsung bergerak. Saya sedang berada di Mekah langsing ke TKP, dan Pak Benny Mamoto mendapat penjelasan bahwa ini terjadi tembak menembak, dan ada korban," kata Mahfud dalam Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Senin (22/8/2022).
Mahfud kemudian berpendapat melalui wawancara di sebuah media bahwa penjelasan Polri soal kasus tersebut tidak masuk akal.
"Antara penjelasan dari fakta ke fakta itu kaitan sebab akibatnya tida jelas. Ini kalau menurut hukum pidana harus ada (sebab-akibat). Ini sangat meragukan," kata dia.
"Tapi dari TKP, Pak Benny Mamoto dan kawan-kawan tetap berpegang kepada skenario itu. Lalu saya panggil semua anggota Kompolnas, apa yang sebenarnya terjadi," ujar dia.
Mahfud melihat isu-isu di luar berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh Polri. Publik, dikatakan Mahfud, menilai Kompolnas dan Komnas HAM tidak sensitif dan sudah disetir oleh skenario tersebut.
"Katanya sudah ada yang dipanggil, lalu Bu Poengky Indarto bilang 'saya yang dipanggil eh Pak Ferdy Sambo'," kata dia.
Mahfud mendapatkan informasi dari Poengky bahwa Ferdy Sambo menangis kepadanya, bercerita bahwa Brigadir J melecehkan keluarganya, dan bahkan jika bisa dialah menembak Brigadir J sendiri.
Sampai saat ini, rapat masih berlangsung dengan pembahasan soal kronologis dari Kompolnas dengan sedikit interupsi beberapa anggota dewan.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.