Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Saksi Ahli Pidana Soroti Pasal yang Jerat Edy Mulyadi Tidak Tepat

Presiden Asosiasi Ahli Pidanan Indonesia (AAPI) Muhammad Taufiq menyoroti pasal yang menjerat terdakwa kasus jin buang anak, Edy Mulyadi.

Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Saksi Ahli Pidana Soroti Pasal yang Jerat Edy Mulyadi Tidak Tepat
Mario Christian Sumampow
Sidang Edy Mulyadi Kasus Jin Buang Anak Menghadirkan Saksi Ahli Pidana, Presiden Asosiasi Ahli Pidanan Indonesia (AAPI) Muhammad Taufiq di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (30/8/2022). 

Laporan Tribunnews, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia (AAPI) Muhammad Taufiq menyoroti pasal yang menjerat terdakwa kasus jin buang anak, Edy Mulyadi. Menurutnya pasal tersebut tidak tepat disasar kepada Edy.

Saat menjadi saksi ahli dalam lanjutan sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Taufiq mengatakan Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang menjerat Edy dirasa tidak tepat.

Terlebih, Taufiq menggarisbawahi kata ‘keonaran’ di dalam pasal tersebut.

UU Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 (1) berbunyi: Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.

Edy dijerat dengan pasal tersebut karena ucapannya terkait jin buang anak telah menyebabkan keonaran yang berujung unjuk rasa pihak-pihak yang keberatan.

Padahal, menurut Taufiq ‘keonaran’ dalam pasal 14 tersebut merujuk pada peristiwa yang menyebabkan kerusuhan fisik, bukan sekadar aksi demo.

Berita Rekomendasi

Alasan ini tidak tanpa sebab, Taufiq mengatakan UU tersebut dibuat oleh ahli hukum Belanda, bukan ahli hukum Indonesia.

Baca juga: Edy Mulyadi Tidak Pernah Merasa Judul-judul Videonya Bernada Negatif

“Bagaimana deskripsi dari keonaran? Harus kerusuhan fisik, karena ada catatanya ini yang buat Belanda, bukan yuris Indonesia. Dibuat oleh Belanda, hanya diberlakukan di Hindia Belanda,” ujar Taufiq dalam persidangan.

“Jadi sejarahnya fisik, kan tidak mungkin dulu ada media TV, radio. Jadi kerusuhan harus diartikan kerusuhan fisik,” tegasnya.

Taufiq juga mengambil contoh kerusuhan pada 29 April 2006 di Tuban Jawa Timur di mana peristiwa tersebut menyebabkan kerusakan bangunan di sejumlah titik, termasuk kantor-kantor pemerintahan.

“Kerusuhan yang sifatnya fisik saya bisa contohkan peristiwa di Tuban, sampai kalah pilkada membakar kantor-kantor partai politik kemudian membakar rumah salah satu calon bupati, itulah yang disebut keonaran,” jelasnya.

Sebagai informasi, Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Edy Mulyadi telah menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.

Menurut jaksa, pernyataan 'Kalimantan tempat jin buang anak' itu jadi kalimat yang dinilai menimbulkan keonaran di masyarakat.

Adapun dari YouTube channel Edy Mulyadi, jaksa mengatakan ada beberapa konten yang menyiarkan berita bohong dan menimbulkan keonaran.

Sejumlah konten dalam dakwaan jaksa, di antaranya berjudul 'Tolak pemindahan Ibu Kota Negara Proyek Oligarki Merampok Uang Rakyat' di mana dalam video ini ada pernyataan Edymenyebut 'tempat jin buang anak'.

Atas perbuatannya, Edy didakwa melanggar Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atau Pasal 156 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas