Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Riset Terbaru: Co-firing Biomassa di Indonesia Menambah Emisi Gas Rumah Kaca

Co-firing merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU.

Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Riset Terbaru: Co-firing Biomassa di Indonesia Menambah Emisi Gas Rumah Kaca
Tribunnews/JEPRIMA
Ilustrasi. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Willy Widianto

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan terbaru Trend Asia mengungkapkan besarnya risiko-risiko yang harus ditanggung warga lingkungan dan iklim dari program co-firing biomassa di 52 lokasi PLTU di Indonesia.

Co-firing merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU.

Demi hal itu pemerintah membutuhkan lahan seluas 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta untuk membangun Hutan Tanaman Energi (HTE), sedangkan rantai pasok biomassa ini akan menambah emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2) per tahun.

Laporan Trend Asia tersebut sekaligus membantah klaim bahwa penggunaan bahan baku campuran biomassa dalam program co-firing di PLTU rendah emisi dan mengurangi ketergantungan terhadap batubara.

Baca juga: Dinilai Sukses Kelola Lingkungan Berbasis Masyarakat, Desa di Bali Dikunjungi Perwakilan Negara G20

Riset ini menelaah secara kritis pilihan menerapkan praktik co-firing biomassa di Indonesia, dengan memetakan berbagai dokumen resmi pemerintah dan badan usaha.

Temuan riset diterbitkan secara berseri, dengan seri pertama bertemakan 'Adu Klaim Menurunkan Emisi' yang memproyeksikan potensi emisi karbon dalam praktik co-firing biomassa terutama pelet kayu (wood pellet) di Indonesia.

Berita Rekomendasi

Untuk diketahui, co-firing biomassa adalah metode pencampuran batubara dengan biomassa yang berasal dari berbagai bahan baku, seperti pelet kayu, pelet sampah, serbuk kayu, cangkang sawit, serbuk gergaji, dan sekam padi.

Skenario yang diuji dalam riset untuk co-firing ini yakni skala 5 persen biomassa (95 persen batubara) hingga 10 persen biomassa (90 persen batubara).

“Temuan riset kami mengungkap, praktik co-firing biomassa pelet kayu yang di-supply dengan skema HTE ini sangat berisiko dalam proses rantai pasok,” kata Juru Kampanye Trend Asia Meike Inda Erlina dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Senin (5/9/2022).

Tim peneliti Trend Asia, Mumu Muhadjir mengemukakan, dengan asumsi praktik co-firing biomassa pelet kayu sebesar 10 persen, maka kebutuhan biomassa untuk 107 PLTU yang berkapasitas total 18,8 GW akan mencapai 10,23 juta ton per tahun.

“Dari perhitungan kami,estimasi kebutuhan lahan HTE itu paling sedikit 2,33 juta hektare atau 35 kali luas daratan DKI Jakarta. Membangun HTE yang ekstensif berpotensi menimbulkan deforestasi,” ujar Mumu.

Ia menambahkan, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) selama ini menunjukkan kecenderungan itu. Merujuk data MapBiomas Indonesia, 38 persen lahan dari total tutupan HTI tahun 2019 berasal dari pembukaan hutan alam.

“Dari pemodelan matematika, co-firing 10 persen biomassa di 107 unit PLTU berpotensi menghasilkan total emisi hingga 26,48 juta ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun,” kata Mumu.

Emisi itu, kata Mumu, muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan HTE hingga produksi pelet kayu.

Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa-batubara ini akan menambah emisi dari PLTU yang dalam RUPTL 2021-2030 diproyeksikan terus naik menjadi 298,9 juta ton CO2 pada 2030.

Temuan lain, co-firing biomassa tidak mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan batubara PLTU.

Manager Advokasi WALHI Jawa Barat (Jabar), Wahyudin Iwang mengatakan, klaim rendah emisi dari campuran biomassa di PLTU tidak akan bisa memulihkan kerusakan lahan pertanian dan kesehatan warga yang telah terjadi.

Pencemaran udara adalah faktor risiko yang memperburuk kesehatan kelompok usia rentan.

Riset WALHI Jabar sejak tahun 2017 terkait operasional PLTU Indramayu 1 berkapasitas 3x330 MW di Desa Tegal Taman mengungkap sebagian besar anak usia 2-7 tahun terpapar infeksi pernafasan akut atau (ISPA). Laporan keluhan itu meningkat jika dihitung sejak PLTU itu dibangun yakni 2011 hingga sekarang.

“Pencampuran bahan baku batubara dengan biomassa serbuk kayu yang telah dilakukan hanya akan memperparah polusi udara dan kini asap yang keluar dari cerobong justru terlihat semakin pekat. Tak terbayangkan oleh kami, bagaimana semakin terancamnya paru-paru anak-anak di sekitar pembangkit itu,” ujarnya.

Dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) terbaru, pemerintah menargetkan Indonesia bebas emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat, dengan menghentikan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Pada Juni 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dalam siaran persnya menyebut bahwa co-firing biomassa merupakan salah satu dari 4 strategi pemerintah dalam mereduksi emisi karbon.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas