Pengamat: Wacana Jokowi Jadi Cawapres Melecehkan Seluruh Pakar Hukum
Ubed mengatakan capres dan cawapres itu dicalonkan dalam satu paket sebagaimana tertuang dalam pasal 6A UUD 1945
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyoroti soal wacana Jokowi menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Menurutnya, wacana yang dimunculkan juru bicara Mahkamah Konstitusi dan didukung kader PDIP itu, selain melanggar etika politik, secara teoritik upaya itu telah melecehkan seluruh pakar hukum tata negara di dunia.
"Dari Van Vollehhoven, Utrech hingga Jimly Asshiddiqie. Apalagi wacana itu muncul dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang pernah dipimpin Jimly Asshiddiqie, pernyataan juru bicara MK itu memalukan institusi negara," kata Ubedilah dalam pesan yang diterima, Jumat (16/9/2022).
Baca juga: Jokowi Tanggapi soal Wacana Maju Jadi Calon Wakil Presiden RI pada Pilpres 2024
Ubed mengutip dalam pasal 7 UUD 1945, di mana disebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
"Jadi hanya untuk dua periode baik posisi sebagai presiden maupun wakil presiden," kata dia.
Lebih lanjut, Ubed mengatakan capres dan cawapres itu dicalonkan dalam satu paket sebagaimana tertuang dalam pasal 6A UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
"Satu pasangan itu juga maknanya melekat berlaku periode untuk presiden dan wakil presiden beserta larangannya yang tidak boleh mencalonkan lagi setelah dua periode untuk jadi capres maupun jadi cawapres," ujar Ubedilah.
Jadi, dikatakan Ubedilah, selain melanggar etika politik, berdasar logika hukum atau ratio legis berdasarkan tafsir a contrario atau dalam terminologi fikih politik disebut mafhum muwafaqah, apabila seorang presiden yang telah menjabat dua periode dilarang menjabat presiden untuk ketiga kalinya, itu maknanya apalagi menjabat jabatan yg lebih rendah yakni jabatan wakil presiden tentunya jauh tidak dapat dibenarkan secara logika hukum tata negara.
"Jika upaya pencalonan Jokowi untuk jadi Cawapres itu ngotot terus dilakukan itu maknanya bisa dimungkinkan muncul kesimpulan ada semacam motif jahat untuk dibuka, mengapa ingin terus berkuasa?" tandas dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.