Hasil Survei Indikator Politik Indonesia Ungkap Kelompok yang Paling Banyak Menolak Harga BBM Naik
Indikator Politik menggelar survei nasional tentang Kenaikan Harga BBM Pengalihan Subsidi BBM dan Approval Rating Presiden.
Editor: Malvyandie Haryadi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indikator Politik menggelar survei nasional tentang Kenaikan Harga BBM Pengalihan Subsidi BBM dan Approval Rating Presiden.
Hasilnya, sebanyak 52,2 persen masyarakat yang disurvei setuju jika bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan dan roda dua.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dalam paparannya secara daring, Minggu (19/9/2022) menyampaikan jumlah responden yang menolak BBM bersubsidi hanya untuk kendaraan umum dan roda dua juga cukup banyak yakni sekitar 44,2 persen.
"Yang setuju pernyataan ini 52an persen mayoritas, tetapi nggak tinggi-tinggi banget, yang nggak setuju cukup besar juga," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menjelaskan, 44,2 persen yang menolak adalah termasuk mereka kelas menengah yang memiliki kendaraan roda empat.
Baca juga: Pungli Warnai Pencairan BLT Kenaikan BBM di Sumedang, Warga Mengaku Diintimidasi
"Itu termasuk nggak setuju, meskipun yang nggak setuju resistansinya lebih rendah dibandingkan tidak setuju pembatasan subsidi BBM buat kendaraan roda empat," ujarnya.
Sementara, temuan survei lainnya publik yang menolak kenaikan harga BBM adalah mereka yang menggunakan BBM jenis Pertalite, Bio Solar, Pertamax, Pertamax Turbo.
Namun demikian, jumlah pengguna Pertalite yang mayoritas menolak kenaikan harga BBM.
"Mayoritas pengguna Pertalite, Bio Solar, Pertamax, Pertamax Turbo nggak setuju naik BBM, tetapi kalau dilihat pengguna Pertalite, semakin sering gunakan pertalite semakin tidak setuju kenaikan BBM," ujarnya.
Lebih lanjut Burhanuddin berkata masyarakat juga lebih setuju jika subsidi BBM diberikan dalam bentuk subsidi harga dibandingkan subsidi langsung secara tunai ke kelompok masyarakat penerima.
BBM dalam bentuk harga ini dinilai membuat harga BBM lebih murah. Meskipun, survei menemukan masyarakat lebih banyak mengakui subsidi BBM tidak tepat sasaran.
"Sebagian besar masyarakat maunya subsidi harga BBM yakni kelas menengah mau bentuk subsidi harga, karena bisa menikmati kalau tunai langsung hanya kelas menengah ke bawah yang menikmati," kata Burhanuddin.
Tingkat Kepuasan
Hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 5 hingga 10 September 2022 atau tepatnya usai pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menunjukkan bahwa mayoritas responden masih menilai puas terhadap kinerja dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Survei dilakukan kepada 1.215 responden melalui sambungan telepon.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, 62,6 persen responden menilai puas dengan kinerja presiden.
Sedangkan yang merasa kurang puas hingga tidak puas sama sekali adalah 35,5%.
"Memang efeknya terhadap tren aprroval rating presiden cukup lumayan. Kurang lebih 10% dibandingkan survei bulan Agustus sebelum kenaikan harga BBM," kata Burhanuddin dalam Rilis Survei Indikator Politik Indonesia secara daring, kemarin.
Pada Agustus 2022 kemarin, atau sebelum kenaikan harga BBM approval rating presiden berada di angka 72,3%.
Ia menilai meski penurunan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja presiden cukup signifikan namun tingkat kepuasan kinerja tidak di bawah 50%.
Hal ini dikarenakan dua faktor. Pertama, momentum kenaikan harga BBM dilakukan saat tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah sedang di level tinggi yaitu 72,3%.
"Ini keputusan tidak menyenangkan banyak pihak tapi ketika dilakukan saat approval rating sedang tinggi-tingginya dampaknya setidaknya tidak sampai di bawah 50%," imbuhnya.
Kedua, faktor lain yang membuat approval rating presiden masih di atas 50% adalah pengumuman kenaikan dilakukan jauh sebelum masa pemilihan umum (pemilu).
Burhanuddin menjelaskan apabila pengumuman kenaikan dilakukan pada tahun depan maka dampaknya secara politik akan sangat besar.
"Itu dampaknya politik akan sangat besar, karena partai politik pendukung pemerintah karena sudah dekati masa pemilu mungkin mereka tidak mau masuk atau diasosiasikan dengan bagian pemerintah saat kebijakan tersebut diambil terlalu dekat dengan masa pemilu," jelasnya.
Sebagian artikel tayang di Kontan dengan judul: Pasca Kenaikan Harga BBM, Tingkat Kepuasan Terhadap Jokowi Turun Jadi 62,6%