Mendagri Izinkan Pj Kepala Daerah Mutasi Pegawai, NasDem: Kemunduran Demokrasi
Keputusan itu diterbitkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melalui Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 821/5492/SJ.
Penulis: Fersianus Waku
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fersianus Waku
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai NasDem mengkritisi keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengizinkan penjabat (Pj) kepala daerah baik gubernur maupun wali kota/bupati untuk menjatuhkan sanksi dan mutasi pegawai.
Keputusan itu diterbitkan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melalui Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 821/5492/SJ.
Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya mengatakan mengatakan penerbitan SE tersebut merupakan bentuk kemunduran demokrasi.
"Terbitnya SE Mendagri No. 821/5492/SJ adalah praktik yang membawa kemunduran bagi proses demokrasi dan prinsip good government dalam kehidupan bernegara kita," kata Willy dalam keterangannya, Rabu (21/9/2022).
Baca juga: Anggota Komisi II DPR Dukung SE Mendagri Terkait Mutasi dan Pemberhentian ASN
Willy menuturkan SE tersebut merupakan bentuk praktik otoritarianisme dari pejabat pemerintah.
"Terbitnya SE tersebut juga menjadi manifestasi dari praktik otoritarianisme dari seorang pejabat pemerintahan yang tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan yang telah berlaku," ujarnya.
Ia menerangkan berdasarkan Pasal 132A PP Nomor 49 tahun 2008 ada 4 hal yang tidak boleh dilakukan oleh penjabat (Pj), salah satunya adalah melakukan mutasi pegawai.
"Dengan demikian SE Menteri Dalam Negeri Nomor 821/5492/SJ tersebut bertentangan dengan PP Nomor 49 tahun 2008," ungkapnya.
Selain itu, Willy menyebut SE Mendagri tersebut telah menyimpangi aturan yang bersifat tegas dan memaksa diatur dalam Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 terkait larangan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Bahkan, kata dia, larangan itu diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena Plt, PJ, dan Pjs mendapatkan kewenangan dari mandat, bukan delegasi atau bahkan atribusi.
Menurutnya, hal tersebut menjadikannya tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Selanjutnya, Willy menjelaskan SE itu berbahaya karena bertentangan UU ASN dan secara khusus UU Pilkada.
Apalagi, jika Plt, Pj dan Pjs mengundurkan diri pada saat pendaftaran pilkada (syarat UU Pilkada) dan mendaftar sebagai paslon (3 bulan sebelum pencoblosan), yang berarti menabrak ketentuan 6 bulan sebelum pencoblosan.
"Apalagi dalam SE juga dinyatakan bahwa tidak diperlukan permohonan persetujuan, sehingga tidak tepatlah aturan ini," jelasnya.
Padahal, jelas Willy, persetujuan Mendagri terkait dengan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016, justru harus didasarkan pada permohonan dari pejabat gubernur, bupati dan/atau wali kota sebagai pembina kepegawaian di pemerintahan daerah.
Lebih lanjut, Willy meminta Tito untuk mencabut atau merevisi SE tersebut agar tidak bertentangan dengan aturan lebih tinggi dan menimbulkan polemik dalam pemerintahan daerah
"Sebagai pembantu presiden, hendaklah Mendagri tidak mengambil kebijakan yang dapat menjerumuskan presiden lewat ketentuan yang dapat menimbulkan polemik dalam kehidupan bernegara kita," imbuhnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.