Pakar Pertanyakan Kerugian Negara di Kasus Surya Darmadi yang Berubah
Surya Darmadi alias Apeng didakwa telah merugikan perekonomian negara akibat bisnis perkebunan kelapa sawit
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Surya Darmadi alias Apeng didakwa telah merugikan perekonomian negara akibat bisnis perkebunan kelapa sawit yang dilakukan perusahaannya di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau sejak tahun 2004 hingga 2022.
Namun, jumlah kerugian negara yang diklaim Kejaksaan Agung (Kejagung) berubah- ubah.
Terhadap hal ini, sejumlah pihak mempertanyakan akurasi dan dasar perhitungan.
Pengamat tindak pidana pencucian uang, Yenti Garnasih, berpendapat kejaksaan sebaiknya tidak tergesa-gesa menyebut nominal kerugian negara.
Ia menyebut, kerugian negara itu terbagi dua, yaitu kerugian keuangan negara dan perekonomian negara karena korupsi itu.
Yenti menyayangkan klausul "potensi kerugian negara" dihilangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi ada kondisi kerusakan lahan atau potensi-potensi yang dihitung kerusakan tanah karena ditanami sawit itu harus ada dana reboisasi. Saya berpikir, sayang sekali pada waktu potensi kerugian negara dihilangkan oleh MK. Harusnya potensi, ngitung itu nanti yang penting ada potensi kerugian negara sudah cukup,” ujar mantan panitia seleksi pimpinan KPK itu dalam keterangannya, Jumat (7/10/2022).
Terakhir, Surya disebut merugikan Negara sebesar Rp86,5 triliun.
Jumlah ini berbeda ketika Surya Darmadi ditetapkan sebagai tersangka, yakni Rp78 triliun.
Kemudian dalam perkembangannya, Kejagung mengumumkan bahwa jumlah kerugian negara yang timbul sebesar Rp104 triliun.
Baca juga: Tak Terima Eksepsi Ditolak, Surya Darmadi Bakal Buktikan Kesahihan Kepemilikan Tanah
Yenti mengatakan, proses sidang sebaiknya juga membuka siapa saja yang terlibat, termasuk jika memang ada penyerobotan lahan dan hak guna hutannya tidak beralih sama sekali, maka ada pembiaran.
“Kemudian, penghitungan-penghitungan saya dengarkan dari ahlinya ternyata ada, kita harus melek hukum juga bahwa kalau ada seperti ini, lingkungan dirusak, pemulihan hak atas hutan itu kondisi tanahnya harus kembali semula. Itu dihitung, reboisasinya berapa? Kemudian setelah diuntungkan, berapa keuntungan yang ada itu harus disita dan itu digunakan apa aliran TPPU. Katanya ada 18 ahli yang akan dihadirkan di sidang, bukan hanya ahli korupsi dan TPPU, tapi ada ahli dari BPKP, ahli kehutanan, dan ahli lingkungan,” kata dia.
Menurutnya, jika ada oknum yang melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kekuasaan kemudian ada orang diuntungkan baik dirinya atau orang lain, itu pasti menimbulkan kerugian negara.
“Karena ditulis harus ada kerugian negara, jadi harus dihitung dan perhitungan itu memperlama (proses hukum). Jadi menurut saya, hitung-hitungannya seperti itu kita kawal saja. Awalnya berapa? Sekarang berapa? Baru tahu saat dakwaan menjadi Rp84 triliun. Ya itu harus dijelaskan saja. Makanya jangan dirilis dulu kalau belum jelas, tapi nanti akan kita dengarkan (di sidang),” kata dia.