TGIPF Kanjuruhan Didesak Selidiki Jenis Gas Air Mata yang Digunakan Polisi
Amnesty International Indonesia mengatakan brutalitas aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan tidak boleh berhenti pada sanksi administratif
Penulis: Gita Irawan
Editor: Erik S
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mendesak Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Kanjuruhan menyelidiki jenis gas air mata yang digunakan dalam Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang.
Usman mengatakan atas nama keadilan, akuntabilitas atas brutalitas aparat keamanan dalam tragedi Kanjuruhan tidak boleh berhenti pada aksi simbolik ataupun sanksi administratif.
Baca juga: Temuan Komnas HAM: Gas Air Mata Pertama Kali Ditembakkan ke Arah Tribune Selatan Stadion Kanjuruhan
Ia mengatakan pernyataan bahwa korban tewas dalam tragedi Kanjuruhan tidak disebabkan oleh gas air mata adalah prematur, tidak empatik, dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung.
Dalam beberapa pedoman internasional, lanjut dia, gas air mata tidak lagi tergolong senjata yang ‘tidak mematikan’ atau non-lethal weapon.
Jenis senjata tersebut, kata dia, sudah dinilai sebagai senjata yang ‘kurang mematikan’ atau less-lethal weapon karena sejumlah pengalaman menunjukkan efek luka yang fatal dan bahkan berakibat kematian.
Baca juga: Sikap Shin Tae-yong soal Tragedi Kanjuruhan, Siap Tinggalkan Timnas Indonesia jika Ketum PSSI Mundur
Apalagi, lanjut dia, jika ditembakkan ke dalam area stadion yang berisi puluhan ribu orang di mana jalan penyelamatan diri terbatas.
Hal tersebut disampaikannya menanggapi pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo dan aksi sujud anggota Polri terkait tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur dalam keterangam resmi Amnesty International Indonesia pada Rabu (12/10/2022).
"Kami mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta agar menelusuri apakah gas air mata yang dipakai polisi merupakan jenis CN (chloracetanophone) atau CS (chlorobenzalmonolonitrile). Efek jenis CS bisa lima kali lipat, jadi memang bisa mematikan," kata Usman.
Senjata non-lethal weapon apapun, lanjut dia, meskipun tidak didesain untuk membunuh, tetap dapat membunuh jika dilakukan dalam konteks dan cara yang keliru.
"Setidaknya harus memenuhi empat prinsip, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas," sambung dia.
Baca juga: Komnas HAM Ungkap Asal Usul Cairan Diduga Miras yang Ditemukan Usai Tragedi Kanjuruhan
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan bahwa FIFA telah melarang gas air mata dibawa ke stadion.
Dengan demikian, kata dia, tindakan tersebut melanggar prinsip legalitas.
"Apalagi menembak ke arah tribun. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas," kata dia.
Sikap pembelaan diri yang ditunjukkan kepolisian, kata dia, mencederai publik yang tengah berduka.
Selain itu, menurutnya tindakan tersebut juga ironis karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik.
Baca juga: Komnas HAM Pastikan Cairan yang Ditemukan Terkait Tragedi Kanjuruhan Ternyata Obat untuk Ternak Sapi
Mabes Polri, kata dia, seharusnya lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara dengan menjamin keselamatan mereka.
Semua yang terlibat tanpa terkecuali, kata dia, harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.
"Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil," sambung Wirya.