Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Putusan MK Terhadap UU PSDN Tidak Konsisten dengan Amanat UUD 1945
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, Demokrasi-HAM.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perkara Judicial Review UU No. 23 tahun 2019 tentang PSDN yang dimohonkan oleh Imparsial, KontraS, Public Virtue Institute, PBHI Nasional, Gustika Jusuf Hatta, Ikhsan Yosarie, dan Leon Alvinda.
Dalam putusannya MK menyatakan seluruh dalil pemohon tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Terhadap putusan ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyatakan bahwa putusan MK tersebut tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, Demokrasi dan HAM.
"MK tidak konsisten antara pertimbangan dengan putusan yang diambil serta dalam beberapa pertimbangan gagal memahmi maksud konstitusi," ujar Teo Reffelsen dari LBH Jakarta, Senin (31/10/2022).
Menurutnya, alasan yang pertama, MK dalam pertimbangannya sendiri mengakui bahwa definisi ancaman dalam UU PSDN kabur dan menciptakan ketidakpastian hukum.
Baca juga: Apa Itu Komcad? 2.974 Orang Ditetapkan Jadi Anggota Komcad 2022, Simak Hak dan Kewajibannya
Kendati demikian, alih-alih mebatalkan pasal tersebut, MK justru memerintahan pembentuk undang-undang untuk merevisi pengaturan tersebut melalui revisi UU PSDN yangt telah masuk Prolegnas yang sejatinya tidak dibenarkan dalam konteks hukum.
Kedua, dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa dalam hal penetapan Komponen Candangan Manusia, Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Buatan (SDB) dan Sarana dan Prasaranan Nasional (SARPRASNAS) harus demokratis dan menghomrati hak asasi manusia.
"Meski argumentasi MK telah benar, MK seoalh tidak berani menyatakan bahwa penetepan sepihak yang dapat dilakukan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) sebagaimana diatur dalam UU PSDN adalah keliru, tidak demokratis dan berpotensi melanggar HAM," ujarnya.
"Bagaimana mungkin penetapan sepihak Menhan tanpa adanya kesukarelaan oleh pemilik SDA, SDB, dan SARPRASNAS tanpa adanya mekanisme penolakan dapat dikatakan demokratis dan seusia dengan HAM," imbuhnya.
Ketiga, petimbangan MK yang menyatakan bahwa UU PSDN sudah mengakomodir prinsip Consentious Objection oleh karena pemerintah tidak mewajibkan warga negara mengikuti komponen cadangan adalah ngawur dan sama sekali tidak memahawi pokok permasalahan.
Keempat, dalam pertimbangannya MK mengakui bahwa sistem peradilan militer harus direformasi sebagaimana amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR No. VII tahun 2000 yang salah satu pokoknya membagi kekuasaan peradilan sipil dan militer serta juga memerintahkan TNI untuk tunduk pada kekuasaan peradilan umum (sipil) dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
Baca juga: Begini Nasib Komcad yang Telah Dilatih Jika Gugatan Terkait UU PSDN Dikabulkan Mahkamah Konstitusi
"Kendati berpendapat demikian, MK dalam putusan tidak konsisten dengan tidak membatalkan pasal yang mempidanakan Komcad (sipil) dalam Peradilan Militer," katanya.
Kelima, dalam pertimbangan MK mengakui bahwa dalam hal untuk menghadapi ancaman militer TNI merupakan komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Sedangkan untuk menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintahan di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama sebagaimana Pasal 7 UU Pertahanan Negara.
Konsekuensi dari pernyataan tersebut seharusnya komponen cadangan yang dibuat Kemhan seharusnya hanya ditujukan untuk kepentingan membantu komponen utama yakni TNI dalam pertahanan negara dalam rangka menghadapi ancaman militer atau kemungkinan perang dengan negara lain.
Sedangkan untuk menghadapi ancaman selain ancaman militer, kementerian pertahanan tidak tepat untuk membentuk komponen cadangan, karena komponen utama menghadapi ancaman selain ancaman militer adalah lembaga di luar bidang pertahanan sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU Pertahanan Negara.
"Dengan dasar pertimbangan ini hakim MK harusya mengabulkan gugatan pemohom agar komponen cadangan digunakan untuk hadapi ancaman militer saja (perang) dan tidak untuk ancaman non militer dan hibrida. Namun MK malah menolak gugatan pemohon padahal dasar pertimbanganya sudah jelas," katanya.
Keenam, Mahkamah Konstitusi juga kacau dan keliru dalam dasar konseptualnya di dasar pertimbangannya dan keputusanya.
Salah satunya MK menyebutkan bahwa Polisi adalah masyarakat sipil sehingga sama dengan ormas dan karenanya diklasifikasikan sebagai komponen pendukung sehingga pengaturan UU PSDN sudah benar.
Padahal dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.”
"Dalam negara demokrasi polisi bukan masyarakat sipil tetapi institusi sipil dan alat negara untuk menjalankan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakkan hukum. Dengan demikian, pertimbangan dan putusan MK yg menyebutkan bahwa Polisi adalah bagian masyarajt sipil adalah sesat pikir," tandasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan judicial review Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang berkenaan pengaturan penyelenggaraan Komponen Cadangan (Komcad). Gugatan dilayangkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KonstraS) cs.
Putusan dibacakan hakim konstitusi saat sidang beradegan pembacaan keputusan perkara nomor 27/PUU-XIX/2021. Sidang ini berlangsung secara daring di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (31/10/2022).
Ketua MK, Anwar Usman yang memimpin sidang, menyatakan menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam sidang, permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 75 dan Pasal 79 UU nomor 23 tahun 2019 tentang PSDN tidak dapat diterima.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya," ujarnya.
MK berwenang mengadili permohonan a quo. Para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
"Permohonan provisi tidak beralasan menurut hukum, pokok permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 75 dan norma Pasal 79 UU 23/2019 adalah kabur, pokok permohonan para Pemohon selain dan selebihnya adalah tidak beralasan menurut hukum," kata Anwar.