KPK Sita Dokumen Keuangan Pelaksanaan Anggaran di Pemprov Sulawesi Selatan dari Rumah Ketua DPRD
KPK menngeledah rumah Ketua DPRD Sulawesi Selatan Ina Kartika Sari terkait penyidikan kasus dugaan suap pemeriksaan laporan keuangan.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah Ketua DPRD Sulawesi Selatan Ina Kartika Sari, Rabu (2/11/2022).
Penggeledahan di kediaman Ina Kartika Sari berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan suap pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Provinsi Sulsel dengan tersangka Kepala Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Sulawesi Tenggara sekaligus mantan Kepala Subauditorat Sulsel I BPK Perwakilan Provinsi Sulsel Andy Sonny (AS) dan kawan-kawan.
"Rabu (2/11) Tim Penyidik KPK telah selesai menggeledah kediaman pribadi yang berada di jalan Pelita Raya Kecamatan Rappocini Kota Makassar," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Kamis (3/11/2022).
Tim penyidik, ungkap Ali, menyita berbagai dokumen keuangan untuk pelaksanaan anggaran di Pemprov Sulsel dari rumah Ina Kartika Sari.
"Analisis dan penyitaan atas bukti-bukti dimaksud segera dilakukan untuk melengkapi berkas perkara penyidikan perkara ini," katanya.
Baca juga: Rumah Pribadi Ketua DPRD Sulsel Digeledah KPK, Ali Fikri Bantah akan Tahan Andi Ina Kartika Sari
KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pemeriksaan laporan keuangan pada PUTR Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Anggaran 2020.
Adapun sebagai pemberi, KPK menetapkan Sekretaris Dinas PUTR Provinsi Sulawesi Selatan, Edy Rahmat (ER).
Sementara sebagai penerima, lembaga antirasuah itu menjerat Kepala Perwakilan BPK Sulawesi Tenggara/ eks Kasuauditorat Sulsel I BPK Perwakilan Provinsi Sulsel, Andy Sonny (AS); Pemeriksa pada BPK Perwakilan Provinsi Sulsel, Yohanes Binur Haryanto Manik (YBHM); mantan Pemeriksa Pertama BPK Perwakilan Provinsi Sulsel/Kasubbag Humas dan Tata Usaha BPK Perwakilan Provinsi Sulsel, Wahid Ikhsan Wahyudin (WIW); dan Pemeriksa pada Perwakilan BPK Provinsi Sulsel/Staf Humas dan Tata Usaha Kepala Perwakilan BPK Provinsi Sulsel, Gilang Gumilar (GG).
Baca juga: KPK Selisik Hasil Laporan Pemeriksaan LKPD Provinsi Sulsel dari Ketua DPRD
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kelima tersangka tersebut dijerat berdasarkan fakta persidangan mantan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah dkk.
"Dari hasil pengumpulan informasi dan data dari berbagai sumber termasuk adanya fakta persidangan dalam perkara terpidana Nurdin Abdullah dkk terkait dugaan tindak pidana korupsi dimaksud. KPK melakukan penyelidikan dan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup maka KPK kemudian meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis (18/8/2022).
Baca juga: KPK Periksa Kepala BPK Perwakilan Bali di Kasus Suap Laporan Keuangan Dinas PUTR Pemprov Sulsel
Dalam konstruksi perkara, dijelaskan bahwa pada tahun 2020, BPK Perwakilan Provinsi Sulsel memiliki agenda salah satunya melakukan pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan untuk tahun anggaran 2020.
Selanjutnya BPK Perwakilan Provinsi Sulsel membentuk tim pemeriksa dan salah satunya beranggotakan Yohanes Binur dengan tugas memeriksa laporan keuangan Pemprov Sulsel tersebut.
Salah satu entitas yang menjadi objek pemeriksaan yaitu Dinas PUTR Pemprov Sulsel.
Sebelum proses pemeriksaan, Yohanes diduga aktif menjalin komunikasi dengan Andy Sonny, Wahid Ikhsan, dan Gilang Gumilar yang pernah menjadi tim pemeriksa untuk laporan keuangan Pemprov Sulsel tahun 2019, di antaranya terkait cara memanipulasi temuan item-item pemeriksaan.
"Untuk laporan keuangan Pemprov Sulsel tahun 2019 diduga juga dikondisikan oleh AS, WIW, dan GG dengan meminta sejumlah uang," kata Alex, sapaan Alexander.
"Adapun item temuan dari YBHM dan antara lain adanya beberapa proyek pekerjaan yang
nilai pagu anggarannya diduga di-mark up dan hasil pekerjaan juga diduga tidak sesuai
dengan kontrak," tambahnya.
Atas temuan ini, Edy Rahmat kemudian berinisitiaf agar hasil temuan dari tim pemeriksa dapat direkayasa sedemikian rupa di antaranya untuk tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa item pekerjaan, nilai temuan menjadi kecil, hingga menyatakan hasil temuan menjadi tidak ada.
Dalam proses pemeriksaan ini, Edy selaku Sekretaris Dinas PUTR aktif melakukan koordinasi dengan Gilang Gumilar yang dianggap berpengalaman dalam pengondisian temuan item pemeriksaan termasuk teknis penyerahan uang untuk tim pemeriksa.
"GG kemudian menyampaikan keinginannya ER tersebut pada YBHM dan selanjutnya YBHM diduga bersedia memenuhi keinginan ER dengan adanya kesepakatan pemberian sejumlah uang dengan istilah 'dana partisipasi'," ungkap Alex.
Untuk memenuhi permintaan Yohanes, Edy diduga sempat meminta saran pada Wahid dan Gilang terkait sumber uang dan masukan dari Wahid dan Gilang yaitu dapat dimintakan dari para kontraktor yang menjadi pemenang proyek di tahun anggaran 2020.
Diduga besaran “dana partisipasi” yang dimintakan 1 persen dari nilai proyek dan dari keseluruhan “dana partisipasi” yang terkumpul nantinya Edy Rahmat akan mendapatkan 10 persen.
Adapun uang yang diduga diterima secara bertahap oleh Yohanes, Wahid, dan Gilang dengan keseluruhan sejumlah sekira Rp2,8 miliar dan Andy turut diduga mendapatkan bagian Rp100 juta yang digunakan untuk mengurus kenaikan jabatan menjadi Kepala BPK Perwakilan.
"Sedangkan ER juga mendapatkan jatah sejumlah sekitar Rp324 juta dan KPK juga masih akan melakukan pendalaman terkait dugaan aliran uang dalam pengurusan laporan keuangan Pemprov Sulsel ini," kata Alex.
Atas perbuatannya, Edy Rahmat sebagai pemberi melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Andy, Yohanes, Wahid, dan Gilang sebagai penerima melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.