KTT G20 di Bali, Produsen Diingatkan Bersihkan Sampah Plastik
Belum lama ini ada penelitian brand audit atas sampah plastik di Bali, sehingga ketahuan mana saja produk perusahaan yang berakhir di alam
Penulis: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM - Saat ini Konferesi Tingkat Tinggi (KTT) G20 sedang berlangsung di Bali. Acara yang digelar 15 -16 November 2022 ini mendapat perhatian khusus dari pemerintah terkait faktor keamanan dan kenyamanan para tamu negara. Selain itu, persoalan sampah plastik di Bali juga perlu menjadi perhatian dan tak boleh dilupakan.
Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rofi Alhanif, membenarkan bahwa sampah plastik sekali pakai, termasuk saset, botol dan gelas plastik memang banyak mencemari sungai dan perairan laut di Pulau Dewata.
"Belum lama ini ada penelitian brand audit atas sampah plastik di Bali, sehingga ketahuan mana saja produk perusahaan yang berakhir di alam, baik itu di sungai maupun di laut," kata Rofi, merujuk audit merek sampah plastik yang mencemari lingkungan di Bali, belum lama ini.
Audit merek ini dilakukan oleh Sungai Watch, sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang lingkungan di Bali.
Dalam laporan brand audit atas sampah plastik di Bali pada 2021, Sungai Watch mengungkap 10 besar perusahaan dengan brand ternama yang produk dan kemasannya paling mencemari Bali.
Riset Sungai Watch menunjukkan, dari 227.842 item sampah plastik bermerek yang dikumpulkan dan dianalisis, ada 27.486 item atau 12 persen dari total sampah plastik yang berasal dari perusahaan besar produsen air mineral. Rinciannya, sampah gelas plastik 14.147 item, dan sampah botol sebanyak 12.352 item.
Perusahaan investor asing yang diketahui sudah lama menguasai pasar air minum dalam kemasan (AMDK) gelas dan botol plastik di Indonesia menjadi penyumbang sampah terbesar. Dari perkiraan total produksi 5,13 miliar gelas dan 2,7 miliar botol air mineral per tahunnya, perusahaan tersebut menyumbang masing-masing 587 juta gelas (11 persen) dan 1,3 miliar botol (49 persen).
Sungai Watch juga melaporkan, nyaris separuh dari total sampah plastik yang dianalisa adalah sampah kemasan saset sekali pakai dengan brand perusahaan F&B besar. Dari total 67.000 item, lebih 30 persen berupa saset snack, dan persentasenya setara dengan total sampah saset produk kopi dan mie instan.
“Audit merek seperti yang dilakukan Sungai Watch ini bermanfaat untuk mengedukasi produsen agar lebih bertanggungjawab, terutama untuk menarik kembali produk dan kemasan plastik yang mereka produksi dan terbuang di lingkungan terbuka sebagai sampah,” kata Rofi.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Permen LHK Nomor 75 Tahun 2019 menargetkan pengurangan sampah hingga sebesar 30 persen pada tahun 2030. Target pengurangan tersebut dilakukan antara lain dengan mendorong produsen air minum dalam kemasan (AMDK) mengubah desain produk berbentuk mini menjadi lebih besar hingga ke ukuran 1 liter, untuk mempermudah pengelolaan sampahnya.
Dalam satu acara webinar, Kepala Subdirektorat Tata Laksana Produsen, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ujang Solihin Sidik, menegaskan kembali bahwa Pemerintah mendorong produsen mengadopsi penghentian (phasing-out) produksi produk dan kemasan pangan dengan wadah plastik mini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Berdasarkan peraturan itu, produsen AMDK didorong untuk mengakhiri (phasing-out) produksi dan peredaran semua kemasan mini di bawah 1 liter, per Desember 2029. Aturan yang sama juga diberlakukan untuk kemasan saset di bawah 50 mililiter.