Menteri Teten Tegaskan Akan Jalankan 7 Rekomendasi Tim Independen Kasus Rudapaksa Pegawai
Teten berjanji akan bergerak cepat untuk melaksanakan seluruh rekomendasi yang disampaikan oleh tim independen.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki telah menerima dokumen hasil penelusuran tim independen pencari fakta terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) pada 2019 silam.
Temuan fakta tersebut akan ditindaklanjuti bersamaan tujuh rekomendasi yang disampaikan oleh tim independen.
Teten menyetujui dan menegaskan agar seluruh rekomendasi yang disampaikan tim independen segera dilaksanakan dengan optimal agar kasus tersebut bisa segera tuntas, berkeadilan bagi korban dan tidak terulang di kemudian hari.
Teten berjanji akan bergerak cepat untuk melaksanakan seluruh rekomendasi yang disampaikan oleh tim independen.
Baca juga: Tim Independen Kemenkop UKM Rekomendasikan Dua PNS Pelaku Rudapaksa Pegawai Dipecat
Salah satu yang dianggap mendesak yaitu pembentukan tim Majelis Kode Etik karena tim yang sudah dibentuk pada 2020 dianggap lalai menjalankan tugas dan kewajibannya sehingga pengungkapan kasus kekerasan seksual sangat lamban ditangani.
"Saya akan segera membentuk Majelis Kode Etik yang baru dan akan menjalankan apa yang direkomendasikan oleh Tim Independen agar bisa dijalankan secara utuh," kata Teten saat menerima tim independen di KemenKopUKM, Jakarta pada Selasa (22/11/2022).
"Saya tidak ingin masalah ini terkatung-katung atau berlarut-larut agar segera tuntas," sambung Teten dalam keterangan resmi Humas Kementerian Koperasi dan UKM.
Selain itu, Teten juga mengapresiasi kerja keras dari seluruh tim independen yang dibentuknya.
Tim independen yang dibentuk pada 26 Oktober 2022 lalu terdiri dari Ketua yaitu Ratna Batara Munti dari Aktivis Perempuan.
Sedangkan anggotanya yakni Riza Damanik sebagai perwakilan dari KemenKopUKM, Margareth Robin Korwa perwakilan dari KemenPPPA, Sri Nurherwati dan Ririn Sefsani dari Aktivis Perempuan.
Ketua Tim Independen Pencari Fakta Ratna Batara Munti mengatakan rekomendasi yang disusun dan disampaikan didasarkan pada temuan fakta di lapangan dan juga dari kajian yang mendalam.
Menurutnya, banyak kejanggalan yang sangat merugikan korban sementara para pelaku khususnya terhadap dua ASN di KemenKopUKM saat ini masih bebas dari jerat hukuman.
Sanksi disiplin yang dijatuhkan dinilai terlalu ringan sehingga perlu ditinjau kembali oleh pihak yang berwenang.
"Salah satu rekomendasi kita adalah sanksinya harus dievaluasi terutama bagi ASN sebagai terduga pelaku masih bekerja di lembaga ini," kata Ratna.
"Kita rekomendasikan agar diperberat hukumannya dari semula penjatuhan satu tahun penurunan jabatan menjadi dipecat," sambung dia.
Dia berharap dengan dijalankannya rekomendasi Tim Independen secara utuh, nantinya KemenKopUKM dapat menjadi role model terhadap penanganan kasus yang sama di tempat lain.
Ratna menilai masih banyak kekerasan seksual yang terjadi di luar sana terutama di lembaga pemerintah namun belum tuntas diungkap.
"Kita harap ke depan ada SOP (Standar Operasional Prosedur) yang tegas dan jelas untuk pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di tempat kerja terutama di lembaga pemerintahan," kata Ratna.
"Ini penting agar ada perlindungan maksimal terhadap perempuan di tempat kerjanya," sambung Ratna.
Berikut ini tujuh rekomendasi yang disusun oleh Tim Independen:
1. Menetapkan Hukuman Disiplin pemberhentian untuk 2 PNS dan 1 honorer
2. Penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun untuk 1 orang PNS
3. Membubarkan Majelis Kode Etik yang dibentuk di 2020 dan kemudian membentuk Majelis Kode Etik baru dalam upaya penerapan sanksi tegas kepada para pejabat yang melakukan pelanggaran dan mal-administrasi yang berdampak berlarutnya penyelesaian kasus ini.
4. Memperbaiki kode etik dan kode perilaku ASN KemenkopUKM.
5. Pembatalan pemberian rekomendasi beasiswa.
6. Memastikan terpenuhinya pemenuhan hak-hak Korban dalam penanganan, pelindungan dan pemulihan.
7. Melakukan mapping dan analisis tata kelola SDM di Lingkungan KemenKopUKM.
Proses Hukum Dilanjutkan
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan proses hukum terhadap kasus pemerkosaan pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) dilanjutkan.
Selain itu, kata dia, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diterbitkan oleh kepolisian dibatalkan.
Keputusan tersebut, kata Mahfud, dihasilkan dalam rapat gabungan di kantor Kemenko Polhukam yang dihadiri pimpinan LPSK, Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan, Kementerian Koperasi Usaha Kecil Menengah, dan Kementerian PPPA pada Senin (21/11/2022).
"Memutuskan bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kemenkop UKM yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya," kata Mahfud dalam keterangan video pada Senin (21/11/2022).
Oleh sebab itu, kata Mahfud, empat tersangka yaitu N, MF, WH, ZPA, kemudian tiga saksi yang juga dianggap terlibat yaitu A, T, dan H akan diproses ke pengadilan.
Mahfud menjelaskan alasan SP3 atau penghentian penyidikan karena pencabutan laporan tidak benar secara hukum.
Di dalam hukum, kata dia, laporan tidak bisa dicabut dan yang bisa dicabut adalah pengaduan.
Laporan, kata dia, bisa dihentikan apabila polisi menilai perkara tersebut tidak cukup bukti untuk dilanjutkan.
Mahfud juga mencatat bantahan dari pihak korban telah memberi kuasa kepada seseorang untuk mencabut laporan.
Menurutnya hal tersebut tidak sah.
"Kalau pengaduan, begitu yang mengadu mencabut maka perkara menjadi ditutup," kata Mahfud.
Mahfud juga menyoroti alasan dikeluarkannya SP3 berdasarkan restoratif justice perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dibantah oleh korban dan keluarga korban.
Mahfud menegaskan restoratif justice itu hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan misalnya delik aduan.
Dalam kejahatan yang serius, misalnya ancaman hukumannya empat tahun lebih atau lima tahun lebih, kata Mahfud, tidak bisa diterapkan restoratif justice.
Mahfud mengatakan kasus korupsi, pencurian, pembunuhan, perampokan tidak bisa diterapkan restoratif justice dan perkaranya harus terus dibawa ke pengadilan.
"Itu ada pedomannya di Mahkamah Agung, di Kejaksaan Agung, maupun di Polri sudah ada pedomannya. Restoratif justice itu tidak sembarang tindak pidana, orang mau berdamai lalu mau ditutup kasusnya, tidak bisa," kata Mahfud.