Pengamat: Tata Kelola Moderasi Konten Daring Masih Banyak Tantangan, Jadi Celah untuk Buzzer Politik
Banyak celah bagi buzzer atau pendengung politik memanfaatkan sosial sebagai sarana kampanye yang tidak sehat.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM JAKARTA - Tata kelola dan moderasi konten daring di Indonesia masih punya banyak tantangan.
Hal ini diungkapkan peneliti independen isu tata kelola internet, moderasi konten, dan perlindungan data pribadi Sherly Haristya.
Dengan masih adanya tantangan, banyak celah bagi buzzer atau pendengung politik untuk memanfaatkannya sebagai sarana kampanye yang tidak sehat.
Sebab, kata Sherly, para pendengung ini kerap menggunakan wilayah abu-abu di media sosial sebagai langkahnya.
"Riset dari LP3ES , ada pergerakan yang intensional untuk memanipulasi publik di Indonesia menjelang pemilu, itu yang kita sebut dilakukan oleh buzzer," ucap Sherly ditemui di hotel kawasan Jakarta Pusat, Senin (28/22/2022).
Baca juga: Demokrat Sentil Buzzer Politik Pakai Politik Identitas Untuk Bahan Dagangan: Siapa, Ade Armando?
Lebih lanjut, dalam riset miliknya, Sherly melihat masih banyak masyarakat yang belum sadar ihwal pendengung politik yang kerap menggunakan area abu-abu.
Sehingga, masih banyak juga masyarakat yang terkecoh atas hal tersebut.
"Misalkan dia ngomong 'kenapa sekolah Kristen dan Katolik lebih mengedepankan pendidikan, kenapa sekolah Islam masih mengurusi jilbab saja.' Isu seperti itu," jelasnya.
"Kesannya seperti pertanyaan, orang bertanya boleh enggak? Tapi kalau konten seperti itu diskusinya banyak, abu-abu pertanyaan terus ditanyakan setiap hari, hati orang terbakar enggak," lanjut Sherly.
Baca juga: Bawaslu Serius Awasi Buzzer yang Ganggu Tahapan Pemilu
Untuk meminimalisir atau menghilangkan wilayah abu-abu inilah yang disebut Sherly masih mejadi pekerjaan rumah pemerintah.
Pekerjaan rumah ini terbagi atas tiga tantangan di mana masih adanya tegangan antaran keseimbangan menjaga kebebasan berekspresi dengan keamanan individu atau publik.
Kemudian kedua, untuk menjaga keseimbangan tersebut, disebut Sherly, masih ada standar yang menjadi patokan dalam kebebasan berekspresi.
"Ketiga, kedua kebutuhan ini harus direfleksikan di dalam cakupan konten problematik dan penanganannya," katanya.