JSKK Minta Jokowi Tunda Pengesahan RKUHP Karena Masih Banyak Pasal Bermasalah
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan, di Taman Pandang Istana, Gambir, Jakarta Pusat (1/12/2022).
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menggelar Aksi Kamisan, di Taman Pandang Istana, Gambir, Jakarta Pusat (1/12/2022).
Aksi tersebut mulai digelar pukul 16.00 WIB petang.
Sumarsih, satu di antara Presidium JSKK sekaligus ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I angkat bicara terkait aksi tersebut.
Ia meminta perhatian Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengenai draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang rencananya akan disahkan DPR RI Desember 2022 ini.
Menurutnya pasal-pasal yang tercantum dalam RKUHP masih bermasalah.
Baca juga: GMNI Nilai RKUHP Sarat Nuansa Otoritarian, Ancam Demokrasi
"Pasal di dalam draf tersebut masih bermasalah dan mengancam hak-hak masyarakat, termasuk diantaranya hak-hak korban pelanggaran HAM berat," kata Sumarsih, dalam keterangan tertulis.
Menurut Sumarsih, hal ini semakin menunjukkan minimnya komitmen Negara untuk memberikan keadilan bagi korban dan keluarganya.
"Terlebih di tengah fakta bahwa pemerintah berusaha mendorong penuntasan non-yudisial yang justru berpotensi melanggengkan impunitas," jelasnya.
Baca juga: Wamenkumham Sebut Hasil Diskusi Masyarakat, Pemerintah, dan DPR Dimasukkan dalam RKUHP
Kemudian, Sumarsih menyebut, ketentuan terkait pelanggaran HAM berat yang masuk di dalam bab Tindak Pidana Khusus RKUHP juga mengancam kepastian hukum untuk korban dan keluarga korban kejahatan kemanusiaan.
"Muatan genosida di pasal 600 dan tindak pidana terhadap kemanusiaan di pasal 601 berpotensi menghapus kekhususan tindak pidana pelanggaran HAM berat," jelasnya.
Baca juga: Banyak Korban Salah Eksekusi, Koalisi Penolakan RKUHP Desak Pasal Pidana Mati Dihapuskan
"Serta ketiadaan masa kadaluwarsa kasus yang saat ini sudah secara khusus diatur melalui UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM," ujar Sumarsih.
Ia menegaskan, memasukkan pelanggaran HAM berat sebagai delik umum berpotensi menegasikan hak korban atas keadilan.
"Karena terdapat kemungkinan bahwa perkara-perkara tersebut tidak dapat diusut," katanya.