KUHP Tidak Berlaku untuk Kegiatan Kemerdekaan Pers, Tapi Berpotensi Jadi Bom Sosial
Hak mengeritik tetap melekat pada pers dan tidak dapat dibungkam, termasuk melalui KUHP.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Walaupun Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan DPR menjadi UU KUHP, khusus untuk pelaksanaan kemerdekaan pers tetap hanya akan mengikuti dan patuh terhadap UU Psrs No 40 Tahun 1999.
Oleb sebab itu, KUHP tidak berlaku dalam ruang lingkup mekanisme dan pelaksanaan kemerdekaan pers
Demikian ditegaskan oleh pakar hukum pers dan Kode Etik Jurnalistik , Wina Armada di Jakarta, Jumat (9/12), menanggapi disahkannya Kitab KUHP) oleh DPR Selasa (6/12) lalu.
Menurut penulis banyak buku hukum pers dan kode etik ini, sepanjang terkait dengan pers, UU Pers bersifat undang-undang yang diutamakan, sehingga semua persoalan pers diatur dan diselesaikan sesuai dengan UU Pers.
“Bukan UU dan peraturan lain, termasuk dalam hal ini bukan pula diatur oleh KUHP yang baru disahkan,” tegas Wina.
Selain itu, tambah lulusan Fakuktas Hukum UI, UU Pers juga bersifat swaregulasi atau memberikan keleluasaan kepada masyarakat pers untuk mengatur diri sendiri.
Artinya, sesuai UU Pers, segala urusan yang terkait dengan pers telah dan akan diatur sendiri berdasar ketentuan yang disepakati oleh masyatakat pers.
“Ketentuan ini sudah diperkuat dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu,” ujar Wina yang waktu perkara ini disidangkan di MK menjadi advokat untuk Dewan Pers.
Mantan Sekjen pengurus PWI Pusat yang memiliki pengalaman kerja sebagai wartawan sekitar 40 tahun itu mengingatkan, dalam UU Pers jelas disebut tidak ada satu pihak pun yang dapat mencampuri urusan kemerdekaan pers
.”Tentu dalam hal ini, termasuk KUHP yang baru disahkan tidak dapat mengatur soal kemerdekaan pers,” tandasnya.
Peran Mengeritik
Mantan Sekretaris Dewan Kehormatan PWI Pusat itu menungkapkan, dalam UU Pers, disebut salah satu peran utama pers ialah melakukan kritik terhadap hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum.
Untuk mendukung peran itu, UU Pers sudah menegaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Dalam pengertian penyensoran ini, jelas Wina, termasuk tidak boleh mengancam pers.
“Bahkan UU Pers telah menegaskan siapapun yang menghalang-halangi tugas pers, diancam pidana dua tahun penjara dan atau denda Rp 500 juta.
Dengan demikian, tambah Wina, hak mengeritik tetap melekat pada pers dan tidak dapat dibungkam, termasuk melalui KUHP.