Hakim Pengadilan Negeri Jaksel Dilaporkan Kuat Maruf, Gayus Lumbun: KY Perlu Libatkan Ahli Bahasa
Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Gayus Lumbun mengatakan, Komisi Yudisial (KY) harus menindaklanjuti laporan Kuat Maruf terhadap Wahyu Iman.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Hakim Agung Mahkamah Agung (MA), Gayus Lumbun mengatakan, Komisi Yudisial (KY) harus menindaklanjuti laporan Kuat Maruf terhadap Wahyu Iman Santoso, hakim yang menangani perkara pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.
“KY punya kewajiban untuk menampung laporan, memproses. Tapi saya pribadi mantan hakim, saya harus mengatakan bahwa itu harus teliti mengenai kosa kata, itu interaktif atau tidak,” kata Gayus saat dihubungi, Minggu (11/12/2022).
Menurutnya, pelaporan Kuat Maruf terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dianggap melanggar etika itu dalam hal etika komunikasi.
Gayus menyebut etika komunikasi itu ada beberapa hal diantaranya etika umum dan etika interaktif.
“Kalau interaktif, wajib untuk dijaga. Kalau etik umum itu biasa. Etik umum itu terjadi, kan etika itu bukan salah benar, tapi patut atau tidak patut. Itu etik bukan hukum. Kalau hukum bicara benar dan salah. Tapi etik itu bicara layak atau tidak layak, patut atau tidak patut,” ujarnya.
Sementara, Kuat Maruf melalui kuasa hukumnya melaporkan hakim Wahyu ke KY karena menyebut kliennya buta dan tuli.
Maka dari itu, saran Gayus bahwa Komisi Yudisial menggandeng ahli bahasa untuk memastikan apakah kata buta dan tuli yang diutarakan hakim tersebut melanggar etik atau tidak.
“Tergantung tujuan dari apa yang diharapkan dari lontaran dalam komunikasi buta dan tuli. Lebih baik KY melibatkan ahli linguistik. Ada ahli linguistik di Kumham punya itu. Saya tau sekali, ahli bahasa tentang etika komunikasi. Itu bisa ditanyakan apakah sang hakim mengejar pertanyaan mengungkapkan buta dan tuli, apakah itu kosa kata yang melanggar etika interaktif,” ujarnya.
Gayus menjelaskan ada peraturan terkait perlindungan saksi dan korban, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK). Namun, kata dia, tidak menjelaskan spesifik tentang kosa kata.
“Misalnya, pada UU perlindungan saksi dan korban. Status saksi itu kalaupun terdakwa, status dalam persidangan itu sebagai saksi. KUHAP sebagai saksi. Maka, ada UU perlindungan saksi dan korban yang menekankan bahwa proses peradilan hukum tidak boleh melakukan tekanan kepada saksi dan korban dalam bentuk apapun,” ucapnya.
Baca juga: Momen Hakim Cecar Kesaksian Kuat Maruf Soal Ferdy Sambo Tak Tembak Brigadir J: Kalian Buta dan Tuli
Oleh karenanya, Gayus mengatakan apakah kata tuli dan bisu yang diucapkan hakim Wahyu itu masuk kategori penekanan terhadap saksi Kuat Maruf.
Tentu, lanjut dia, ahli bahasa yang bisa menilai makna kedua kosa kata itu.
“Kalau itu ditujukan kepada makian memaki, memang betul itu akan melanggar. Kalau memaki anda tuli, misalnya begitu. Tapi ini kan pertanyaan, kok anda tidak tahu anda berada di sana, apakah anda tuli. Tuli ya? Itu ahli yang bisa menilai,” ucapnya.
Selain itu, Gayus mengatakan ahli linguistik ini juga bisa menilai apakah hakim Wahyu yang kerap menyebut saksi dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan kata berbohong sebagai kesimpulan atau bukan. Memang, kata dia, mungkin saja hakim sudah membuat analisis atau statemen.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.