Gas dan Rem Presiden Jokowi Tangani Pandemi Covid-19 di Tanah Air
Di tengah desakan lockdown saat pandemi Covid-19, Jokowi pilih semadi 3 hari dan putuskan Indonesia tak perlu lockdon.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkap caranya Indonesia menangani pandemi virus corona (Covid-19).
Saat pandemi mulai merambah, Jokowi menerima desakan agar Indonesia melakukan lockdown. Desakan itu sangat kuat. Karena saat itu
banyak negara yang menerapkan kebijakan tersebut.
Namun, sebagai kepala negara, Jokowi tak buru-buru mengamini desakan itu. Sebelum membuat keputusan, ia justru bersemadi selama tiga hari untuk menentukan apakah Indonesia akan di-lockdown atau
tidak.
"Saya semadi tiga hari, memutuskan lockdown atau tidak. Karena tak punya
pengalaman semuanya mengenai itu," kata Jokowi dalam Rakornas Transisi
Penanganan Covid di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (26/1).
Pada akhirnya setelah menimbang-nimbang, Jokowi memutuskan tak melakukan lockdown. Padahal kala itu banyak pihak yang mendesak pemerintah agar melakukan kebijakan tersebut.
"Pada saat lockdown atau tak lockdown, rapat menteri 80 persen
lockdown. Karena semua negara itu. Enggak ada DPR, partai, semuanya lockdown. Tekanan-tekanan seperti itu pada saat alami krisis dan kita tak jernih dan kita tergesa, sangat bisa keliru," tambahnya.
Jokowi meyakini rakyat akan mengalami kerusuhan bila pemerintah saat itu mengambil kebijakan lockdown di awal pandemi Covid-19 pada awal 2020 lalu.
Potensi rusuh itu terjadi lantaran peluang rakyat sangat minim ketika ingin mencari nafkah.
"Saat itu misalnya kita putuskan lockdown hitungan saya dalam dua atau tiga minggu, rakyat tak memiliki peluang kecil mencari nafkah, semua ditutup. Negara tak bisa memberi bantuan kepada rakyat. Apa yg terjadi? Rakyat pasti rusuh," kata dia.
Awal-awalan kemunculan pandemi Covid-19 itu dikenang Jokowi sebagai sebuah tantangan dan persoalan berat yang tidak ada standar dan pakemnya.
"Karena memang kita semuanya belum memiliki pengalaman dalam menangani pandemi ini," katanya.
Jokowi kemudian bercerita pernah bertanya kepada organisasi kesehatan dunia WHO terkait bagaimana menghadapi virus corona. Saat itu WHO mengatakan untuk tidak perlu memakai masker jika sehat.
"Kita ingat awal-awal dari WHO disampaikan saya kan bertanya pada mereka. Presiden enggak usah pakai masker awal-awal. Yang pakai
masker hanya yang batuk-batuk. Enggak ada seminggu semua harus pakai masker. Ternyata mereka bingung, kita juga bingung," ungkap Jokowi.
Hal selanjutnya yang dicari-cari banyak orang adalah Alat Pelindung Diri (APD).
Saat itu, kata Jokowi, semua negara bingung mencari APD.
"Eh, ternyata kita sendiri bisa produksi dan dikirim ke negara-negara lain. Saking posisinya semua bingung. Tetapi manajemen makro dan mikro yang kita lakukan betul-betul sangat efektif dan saya melihat semuanya kita ini bekerja karena tertekan. Semuanya bekerja. Itu yang tidak saya lihat sebelum-sebelumnya," ujarnya.
Baca juga: Jokowi Ungkap Kesulitan Awal Pandemi Covid-19 Melanda Indonesia hingga PPKM Dicabut
Tekanan bukan hanya terkait bagaimana menangani pandemi Covid-19, tapi juga terhadap keuangan negara. Penerimaan negara saat itu anjlok 16 persen. Pada saat bersamaan belanja negara ditargetkan harus naik.
"Bayangkan pendapatan penerimaan negara anjlok 16 persen padahal belanja harus naik, bagaimana coba?," ungkap Jokowi.
Soal vaksin, Jokowi juga mengapresiasi semua pihak yang bekerja memberikan 448 juta suntikan vaksin. Apalagi, kondisi geografi Indonesia yang tidak mudah untuk menjangkau semua orang untuk mendapatkan vaksin corona.
Jokowi menuturkan, kesulitan-kesulitan tersebut yang memberikan pengalaman besar termasuk bagi gubernur, bupati, wali kota, serta TNI dan Polri yang mengurus pertahanan, keamanan, serta ketertiban masyarakat.
"Semuanya mengurus, di mana rakyat bisa disuntik dan mau disuntik vaksin. Jumlah yang disuntikkan 448 juta suntikan. Bapak ibu bisa membayangkan bagaimana satu per satu 448 juta suntikan kita berikan ke masyarakat bukan persoalan yang gampang dan geografis kita juga tidak mudah, ada gunung laut sungai yang semuanya harus dilalui untuk mencapai rakyat bisa disuntik, mau disuntik," ujarnya.
Kebijakan gas dan rem kata Jokowi juga tidak mudah. Harus diukur secara baik supaya penanganan kesehatan dan ekonomi dapat berjalan beriringan.
"Itulah yang kita lakukan menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi yang semuanya menekan manajemen negara. Tidak mudah," ujarnya.
Ia mengatakan keberhasilan pemerintah menekan kasus Covid-19 itu berkat kerj sama dari pemerintah pusat hingga daerah serta TNI-Polri. "Semua bekerja, itu yang tidak saya lihat sebelum-sebelumnya. Jadi ini sebagai pengamat ternyata kalau kita pengin semua bekerja, memang harus ditekan dulu, ditekan oleh persoalan, problem, tantangan," kata Jokowi.
Pemerintah telah mencabut status Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) per 30 Desember 2022. Jokowi menyebut saat ini adalah masa transisi.
Meski status PPKM dicabut, Jokowi tetap mengingatkan semua pihak untuk tetap waspada.
"Setelah PPKM kita cabut di akhir tahun 2022, masa ini adalah masa transisi
dan kita harus tetap waspada. Hati-hati dalam memutuskan kebijakan utamanya ekonomi yang sekarang ini kita berada di posisi yang sangat baik," kata Jokowi.
Ia kemudian membeberkan ekonomi Indonesia pada 2022 tumbuh menjanjikan di angka 5,72 persen dan year on year mencapai 5,3 persen.
Menurut Jokowi, angka tersebut merupakan capaian yang sangat baik di tengah pandemi COVID-19 yang masih belum berakhir.
Baca juga: Jokowi: Jika Pemerintah Terapkan Lockdown, Rakyat Pasti Rusuh dan Negara Tak Bisa Kasih Bantuan
Di acara yang sama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan keuangan Indonesia sempat terpukul hingga minus 16 persen pada tahun 2020.
Padahal, kata dia, penerimaan negara pada 2020 itu sudah mencapai Rp 1.647,8 triliun.
"Waktu pandemi pendapatan negara terpukul karena semua rakyat ekonominya berhenti. Jadi penerimaan negara kita drop 16 persen menjadi Rp 1.600 triliun saja," kata Sri Mulyani.
Ia mengatakan belanja negara turut mengalami kenaikan sebesar 12,4 persen atau sebesar Rp 2.595,5 triliun. Sedangkan pembiayaan utang negara naik 181,0 persen atau Rp 1.229,6 triliun.
"Pendapatan turun, belanjanya naik. Makanya defisit melonjak tinggi sekali. Oleh karena itu defisit menjadi Rp 947 triliun. Ini yg sudah angka aktual
dibandingkan Perpres nya tadi," tutur dia.
Sri Mulyani menyebut defisit APBN ini terjadi dalam kurun waktu yang sangat cepat. Sehingga situasi ekonomi secara keseluruhan mengalami volatilitas.
"Waktu itu juga capital market, semuanya dalam situasi yg sangat volutality. Sehingga waktu kita butuh banyak, situasi di dalam bon market dan capital market sangat tidak kondusif," ucap dia.
Untuk itu pemerintah kemudian melakukan kesepakatan dengan mekanisme Burden Sharing dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional di tahun 2020.
"Makanya kita membuat SKB 1-2-3 dengan Bank Indonesia. Karena memang
tantangannya extra ordinary. Magnitude-nya besar sekali," lanjutnya.(tribun
network/fik/tis/dod)