Anggota Komisi VIII DPR RI Sebut Polemik Nikah Beda Agama Seharusnya Diakhiri
Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf menyebut bahwa polemik pernikahan beda agama sudah seharusnya diakhiri.
Penulis: Rifqah
Editor: Sri Juliati

TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf menyebut bahwa polemik pernikahan beda agama sudah seharusnya diakhiri.
Bukhori mengatakan, negara melalui Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menerbitkan faktwa terkait pandangan hukum mengenai pernikahan beda agama.
"Sudah tepat jika hal ini dikembalikan pada UU Perkawinan karena itu setiap pihak sudah sepatutnya menghormati putusan yang telah dibuat oleh MK," ujarnya.
"Negara telah memberikan sikap yang jelas melalui putusan tersebut sehingga perlu menjadi perhatian kita bersama dalam upaya memelihara suasana kerukunan umat beragama yang saling menghormati dan menghargai ajaran masing-masing," ujarnya.
Bukhori pun mengungkapkan bahwa pihaknya sudah menyuarakan penentangan pernikahan beda agama sejak sejak Maret dan Desember 2022.
Terutama dalam merespons pernikahan beda agama yang terjadi di Semarang dan putusan Pengadilan Negeri (PN) Tangerang yang mengesahkan pernikahan beda agama.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Gugatan Pernikahan Beda Agama, Ini Pertimbangannya
"Pernikahan beda agama bertabrakan dengan isi Pasal 28J UUD 1945 Ayat 2 yang menjelaskan bahwa setiap orang wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dalam memenuhi hak dan kebebasan."
"Sementara di sisi lain, HAM dalam perspektif konstitusi kita tidak bermakna liberal. Dia dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” ucap legislator PKS ini.
Apresiasi Putusan MK

Bukhori menyampaikan bahwa putusan MK sejalan dengan amanat konstitusi dan aspirasi umat Islam yang sudah jauh-jauh hari disuarakan.
Ia pun mengapresiasi keputusan MK yang menolak gugatan terkait dengan pernikahan beda agama.
Karena menurut Bukhori, hal tersebut bertentangan dengan konstitusi, selain itu juga bertentangan dengan ajaran Islam.
"Kami mengapresiasi putusan MK tersebut mengingat sejak awal kami menentang nikah beda agama karena selain bertentangan dengan konstitusi, juga bertentangan dengan ajaran Islam," kata Bukhori.
HNW Harap Seluruh Pihak Patuhi Putusan MK

Senada dengan Bukhori, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyar (MPR) RI, Hidayat Nur Wahid atau yang biasa disapa HNW mengapresiasi MK yang kembali menolak permohonan perkawinan beda agama.
Atas hal tersebut, HNW berharap seluruh pihak harus mengikuti dan mematuhi putusan yang sudah sejalan dengan ketentuan UUD NRI 1945 dan UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia.
“Itu perkara yang sudah kesekian kali terkait perkawinan beda agama, yang ditolak oleh MK."
"Maka harusnya semua pihak mengikuti dan mematuhi putusan MK ini dan putusan-putusan sebelumnya. Karena memang itulah yang sesuai dengan UU dan ajaran Agama yang diakui di Indonesia,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Semua pihak yang dimaksudkan tersebut adalah para calon mempelai, serta para hakim di PN yang kerap kali membolehkan pencatatan perkawinan beda agama.
Bahkan, kata HNW, pada tahun 2022 lalu sudah ada tiga hakim di sejumlah PN yang membolehkan perkawinan beda agama.
Baca juga: MUI Apresiasi MK Tolak Sahkan Pernikahan Beda Agama: MK Tetap Menjadi Guardian of Constitution
“Semoga ke depannya, tidak ada lagi calon mempelai yang mengabaikan keputusan MK ini, juga para hakim di pengadilan negeri tidak ada lagi yang memberikan izin pencatatan perkawinan beda agama tersebut,” ujarnya.
Selain itu, HNW juga berharap bahwa penetapan-penetapan hakim di PN tersebut bisa segera dikoreksi dengan kembali ditegaskan oleh MK bahwa perkawinan beda agama tidak sejalan dengan konstitusi kita.
Apalagi, MK juga dengan secara tegas tetap pada pendiriannya bahwa konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah dilakukan menurut agama yang sah di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU Perkawinan.
“Maka putusan MK ini harus dirujuk oleh MA dan hakim-hakim di bawahnya, sehingga tidak terjadi lagi perkawinan beda agama yang tidak sah menurut agama atau UU Perkawinan, yang juga tida dibenarkan oleh MK,” tukasnya.
Mahamah Konstitusi Tolak Gugatan Permohonan Nikah Beda Agama

Diberitakan sebelumnya, MK menolak keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang uji materi mengenai pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (31/1/2023) kemarin.
“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Anwar Usman membacakan putusan dalam sidang, Selasa (31/1/2023).
Baca juga: Tolak Legalkan Nikah Beda Agama, MK Tegaskan Tak menghalangi Kebebasan Memilih Kepercayaan
Untuk diketahui, uji materi atau judical review Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Anwar menyampaikan bahwa Mahkamah sudah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang diajukan pemohon.
Oleh karena itu, MK dapat mengadili permohonan yang diajukan oleh pemohon, yakni Ramos Petege seorang pemeluk agama Katolik yang ingin menikah dengan perempuan beragama Islam.
Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum.
Baca juga: Uji Materi UU Perkawinan Ditolak MK, Pernikahan Beda Agama Tetap Dilarang
Sebagai informasi, sebelumnya perkara gugatan terkait pernikahan agama awalnya dimohonkan oleh Ramos Petege pada 2022 lalu.
Ramos diketahui merupakan seorang penganut agama Katolik yang tidak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

Sehingga hubungannya kandas dan gagal menikahi kekasihnya tersebut.
Kemudian, Ramos mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya tersebut kandas karena memiliki perbedaan agama.
Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.
Baca juga: Sule Sudah Nasihati Anaknya soal Pacaran Beda Agama: Kita Lihat Endingnya
Menurut Ramos, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan sahnya suatu perkawinan.
Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh orang yang berbeda keyakinan.
"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke MK, Selasa (8/2/2022) lalu.
(Tribunnews.com/Rifqah/Chaerul Umam)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.