Ada Gaduh Perang Galon di Balik Isu BPA
Kemasan AMDK galon guna ulang sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan izin edar sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat.
Editor: Vincentius Haru Pamungkas
TRIBUNNEWS.COM – Polemik terkait Perka BPOM No.31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan yang bermaksud melabeli kemasan AMDK galon guna ulang ‘ Berpotensi Mengandung BPA’ terus bergulir. Isu mengenai bahaya Bisfenol A (BPA) air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan Polikarbonat (PC) atau galon guna ulang masih menjadi topik utama, meskipun banyak pihak yang menentangnya karena dinilai mengandung unsur persaingan usaha.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan, melihat polemik isu BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air galon guna ulang ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. “Sebabnya, 99,9 persen industri ini menggunakan galon tersebut, hanya satu yang menggunakan galon sekali pakai,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan pakar hukum persaingan usaha, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH. M.Li. “Dalam rangka kesehatan boleh-boleh saja untuk jadi pertimbangan dalam membuat kebijakan. Tetapi, tetap harus dilihat juga dampaknya terhadap persaingan usahanya,” katanya.
Dunia kedokteran dan pakar kimia pun memberikan pendapatnya terkait BPA yang terdapat dalam galon guna ulang ini. Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Prof. DR. dr. Aru Wisaksono Sudoyo, SpPD-KHOM, FINASIM, FACP mengatakan belum ada bukti air minum dalam kemasan itu menyebabkan penyakit kanker.
Dr. M. Alamsyah Aziz, SpOG (K), M.Kes., KIC, dokter spesialis kandungan yang juga Ketua Pokja Infeksi Saluran Reproduksi Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), juga mengatakan sampai saat ini dirinya tidak pernah menemukan adanya gangguan terhadap janin karena ibunya meminum air minum dalam kemasan.
Pakar Teknologi Pangan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr Eko Hari Purnomo, juga menegaskan bahwa kandungan BPA AMDK tidak membahayakan kesehatan. “Berdasarkan data-data yang ada, penggunaan kemasan itu tidak menimbulkan resiko kesehatan, terutama dari sudut pandang BPA-nya,” kata Eko.
Dr. Ahmad Zainal, pakar polimer dari ITB juga menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam AMDK yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini. Sebagai pakar polimer, dia melihat kemasan yang mengandung BPA itu merupakan bahan plastik yang aman.
Pakar Teknologi Produk Polimer/Plastik yang juga Kepala Laboratorium Green Polymer Technology Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI), Assoc. Prof. Dr. Mochamad Chalid, S.Si., M.Sc. Eng., menegaskan pada dasarnya kemasan ini secara disain material bahan bakunya relatif aman untuk AMDK dengan jumlah kali guna-ulang tertentu, yang memperhatikan sifat-sifat fungsionalnya seperti migrasi BPA sebagai sisa bahan baku atau hasil degradasi dari polikarbonat pada kemasan tersebut.
Kisruh soal isu BPA ini pun mengusik perhatian dari beberapa kementerian dan lembaga, para ilmuwan, dan juga kalangan medis atau para dokter. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, langsung menegaskan bahwa kemasan AMDK galon guna ulang sudah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) dan izin edar sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat. Karenanya, dia sangat menyayangkan adanya upaya-upaya dari pihak-pihak tertentu yang menghembuskan isu terkait bahaya Bisfenol A (BPA) di salah satu produk AMDK di masyarakat.
Atong Soekirman, Asisten Deputi Pengembangan Industri Kemenko Bidang Perekonomian juga menyayangkan adanya upaya yang mendiskreditkan salah satu produk AMDK dengan menghembuskan isu bahwa produk ini berbahaya bagi kesehatan karena kemasannya yang mengandung BPA. “Ini jelas akan menimbulkan imej negatif terhadap AMDK yang dikemas dalam kemasan yang mengandung BPA yang dapat berdampak pada iklim usaha,” katanya.
Tanpa memperdulikan keresahan yang terjadi di masyarakat, terdapat kelompok-kelompok tertentu yang ingin menjatuhkan pasar galon guna ulang ini juga bahkan dengan berani mencatut nama anggota DPR RI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), akademisi, dokter, dan lembaga-lembaga pendidikan dengan memberitakan seolah-olah mereka mendukung pelabelan BPA galon guna ulang.
Baru-baru ini saja Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengaku ada pihak-pihak yang melakukan framing terhadap dirinya terkait isu BPA ini. Dia mengatakan ada pihak-pihak yang membuat rilis palsu terkait pernyataannya di beberapa media. Dia merasa tidak pernah diwawancara terkait hal yang menyebut-nyebut soal isu BPA.
Sebelumnya, hal serupa juga pernah dialami Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati. Ada pihak yang sengaja melakukan framing dalam pemberitaan yang seolah-olah dia mendukung pelabelan BPA. Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Efriza, sebelumnya juga merasa diframing. Tapi, dia langsung mengklarifikasi pernyataannya yang dimuat beberapa media soal bahaya Bisfenol A (BPA) dalam galon guna ulang terhadap kesehatan bayi, balita, dan janin pada ibu hamil. Menurutnya, saat itu dia hanya menyampaikan bahwa yang berwenang untuk mengatur keamanan pangan di Indonesia adalah negara yang dalam hal ini BPOM.
Isu mengenai bahaya BPA galon guna ulang ini sudah digulirkan sejak tahun 2020 lalu oleh sebuah lembaga masyarakat yang menamakan dirinya Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL). Lembaga ini tiba-tiba mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melabeli ‘Berpotensi Mengandung BPA’ terhadap kemasan galon guna ulang dengan alasan bahwa kemasan galon ini tidak baik untuk kesehatan anak-anak.
JPKL juga diduga pernah mengklaim penemuan tingkat migrasi BPA pada sampel galon isi ulang yang berkisar antara 2 hingga 4 parts per million (ppm) atau di atas batas toleransi yang diizinkan BPOM 0,6 ppm, dari uji laboratorium yang dilakukan TÜV NORD Indonesia Laboratories.
Namun, saat itu TUV mengakui bahwa sampel yang digunakan untuk uji lab itu berasal dari JPKL, yang kemungkinan tidak mewakili yang ada di pasaran. “Jadi, kalau penelitiannya bukan kita yang melakukan. Kita hanya menganalisa saja si produk galon guna ulang tersebut. Sampelnya itu dari yang meminta kita untuk melakukan uji lab. Jadi, sampelnya bukan dari kita juga tapi dari customer,” demikian penjelasan TUV saat itu.
Tidak hanya JPKL, lembaga lainnya juga tiba-tiba bermunculan dengan maksud serupa. Salah satunya adalah FMCG Insights yang juga menyuarakan pelabelan BPA terhadap galon guna ulang. Dan akhir-akhir ini, lembaga yang menamakan diri sebagai Zero Waste Management Consortium dan Koalisi Pejalan Kaki juga ikut-ikutan menyuarakan hal serupa.
Semua lembaga-lembaga masyarakat yang terkesan digunakan industri pesaing yang ingin menjatuhkan pasar AMDK galon guna ulang ini sangat gigih melakukan manuvernya baik melalui tulisan-tulisan berbayar maupun buzzer-buzzer berbayar di media sosial.
Melihat manuver-manuver tersebut, Astari Yanuarti, Co-founder Indonesian Antihoax Education Volunteers (REDAXI), bisa membaca bahwa kemungkinan akun-akun para buzzer terkait bahaya BPA pada galon guna ulang itu digerakkan sangat terbuka, dan patut diduga ada motif komersial di baliknya. “Penyebaran hoaks itu tidak hanya dilakukan oleh buzzer, tapi semua orang bisa menjadi penyebar hoaks secara sadar maupun tidak. Motifnya beraneka rupa, ada yang karena uang, ideologi, kesehatan, kepedulian, politik, dan emosional,” tutup Astari.