Laode M Syarif Sebut Skor Indeks Persepsi Korupsi Juga Dipengaruhi Proses Pembuatan UU
Menurutnya ada beberapa faktor penyebab IPK Indonesia turun di antaranya adalah terkait dengan kualitas penegakan hukum dan kualitas demokrasi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua KPK RI periode 2015-2019 Laode M Syarif berpendapat skor indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang turun empat poin pada tahun 2022 juga dipengaruhi kebijakan perundang-undangan.
Salah satu indikator yang dipengaruhi, kata dia, adalah indeks World Justice Project.
Indeks tersebut, kata dia, setidaknya melihat dua aspek yakni kualitas aparat penegak hukum dan kualitas proses pembuatan hukum.
Baca juga: KPK Bantah Salah Satu Faktor Penyebab Anjloknya IPK Indonesia 2022 karena TWK 2020
Hal tersebut disampaikannya di sela-sela acara Integrity Constitutional Discussion #9 bertajuk "Oligarki, Sumber Daya Alam, dan Ancamannya Terhadap Pemilu 2024" di Jakarta Pusat pada Kamis (2/2/2023).
"Law making process kita ya memang suka tidak suka banyak hal-hal yang harusnya tidak terjadi. Misalnya UU KPK direvisi dalam waktu cuma dua minggu. UU minerba direvisi dalam waktu empat minggu saja," kata Laode.
"Terus revisi UU Mahkamah Konstitusi cepat banget hampir kita nggak tahu itu sudah selesai. UU Cipta Kerja yang akhirnya dinyatakan conditionally incostitution, kok tiba-tiba ada Perppu. Tapi saya kurang tahu Perppu ini sudah masuk dalam perhitungan (IPK tahun ini) atau nggak, tapi kayaknya belum," sambung dia.
Terkait proses pembuatan hukum tersebut, kata dia, termasuk juga dalam keterlibatan publik.
"Ya, termasuk partisipasi publik," kata Laode.
Menurutnya ada beberapa faktor penyebab IPK Indonesia turun di antaranya adalah terkait dengan kualitas penegakan hukum dan kualitas demokrasi.
Baca juga: Anjloknya IPK Indonesia 2022 Dinilai ICW Sebagai Gagal Total Pemberantasan Korupsi Era Jokowi
Terkait hal itu ia menyoroti di antaranya indeks-indeks yang menjadi pertimbangan dalam penilaian terhadap IPK tersebut.
Diketahui tiga indeks yang mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu yaitu PRS International Country Risk Guide (dari 48 menjadi 35); IMD World Competitiveness Yearbook (dari 44 menjadi 39); dan PERC Asia Risk Guide (dari 32 menjadi 29).
"Kebebasan berpendapat dianggap sangat terbatasi sekarang. Bahkan mereka mengatakan bahwa kita cenderung kepada pemerintahan yang mengarah kepada sesuatu yang tidak demokrasi, saya nggak mau menyebutnya kayak apa," kata dia.
"Tapi anda bayangkan, Filipina tangan besi presidennya, Duterte, begitu kan, turun di bawah kita. Kita dianggap mendekati yang itu. Jadi sehingga memang itu perlu disikapi," sambung dia.