Ketua Umum PBNU: Piagam PBB Bisa Jadi Sumber Hukum Bagi Muslim
KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa menjadi hukum bagi umat Islam.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa menjadi hukum bagi umat Islam.
Hal tersebut disampaikan dalam pidatonya pada Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur pada Senin (6/2/2023).
"Apakah piagam PBB itu bersifat legal dalam Islam? Apakah ia sumber hukum bagi negara berpenduduk Islam? Jawaban dari pertanyaan itu, iya. Piagam PBB dapat menjadi sumber hukum yang mengikat bagi penduduk dan negara bangsa, termasuk Muslim," katanya.
Jika demikian, ia pun kembali bertanya mengenai keabsahan Perdana Menteri India Narendra Modi sebagai wakil bagi warga India, khususnya bagi umat Islam.
Baca juga: Pemkot Surabaya Berlakukan Belajar Daring dan WFH saat Peringatan Satu Abad NU, Antisipasi Kemacetan
Pun demikian, yang menandatangani Piagam PBB adalah Perdana Menteri Jawaharlal Nehru yang juga non-Muslim.
"Apakah kita menganggap PM zaman itu ketika menandatangani piagam itu sebagai wakil yang pantas dan representatif dari warga Muslim India sedangkan dia bukan Islam?" tanya Gus Yahya.
"Apakah dia bisa menjadi wakil negara India, termasuk Muslim?" lanjutnya.
Meskipun demikian, Piagam PBB dan organisasi PBB bukanlah sesuatu yang sempurna dan tak mengandung masalah sama sekali.
Pada kenyataannya, realisasi isi Piagam PBB juga menyisakan kekurangan.
Namun di sisi lain, Piagam PBB juga mengakhiri konflik yang pernah terjadi. Hal itu juga menandai berdirinya negara-bangsa dan mencegah terjadinya kekacauan, termasuk peperangan dan penderitaan kemanusiaan yang diakibatkannya.
Gus Yahya lalu menyinggung soal kekhilafahan yang oleh sebagian umat Islam dijadikan alternatif tatanan politik.
Menurutnya, telah berlaku secara luas pandangan bahwa di mana ada kekhalifahan, orang kafir menjadi objek diskriminasi.
Kini kekhalifahan yang representatif bagi umat Islam sudah tidak ada lagi.
Sudah tidak ada otoritas politik yang mempersatukan kaum muslim sejak runtuhnya kekhalifahan Umayyah yang dimulai 150 tahun pascawafat Nabi.
Sejak itu, ketika negara Islam memiliki banyak penguasa, pandangan fikih berpendapat bahwa mempersatukan umat Islam menjadi sesuatu yang luhur dan harus dicapai orang Islam di mana pun berada.
"Maka, pertanyaan yang pantas kita utarakan di sini adalah apakah gagasan idealis ini pantas kita anut dengan mengandaikan bahwa semua umat Islam harus bernaung dalam satu otoritas politik?" ujarnya.
"Apakah Piagam PBB dapat menjadi landasan berpikir ke sana?" lanjutnya bertanya.
Mengakhiri pidatonya, Gus Yahya meminta jawaban dari para ulama atas pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan.
"Demikian pertanyaan yang berhasil saya susun, dan saya menunggu para ulama di sini untuk menjawabnya," pungkasnya.
Sebagai informasi, Muktamar Internasional Fikih Peradaban I dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin, Senin.
Forum ini mengundang sedikitnya 15 pakar sebagai pembicara kunci, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hadir sebagai pembicara antara lain Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Wakil Grand Syekh Al-Azhar Syekh Muhammad Abdurrahman Al-Dluwaini, Sekretaris Jenderal Liga Muslim Dunia Syeikh Muhammad Bin Abdul Karim Al Issa, dan sejumlah ulama mancanegara lainnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.