Mulai 2025 Skema Rawat Inap BPJS Kesehatan Menjadi Kelas Standar, Bagaimana Aturan Penerapannya?
Penerapan KRIS JKN BPJS Kesehatan alias kelas standar di seluruh rumah sakit (RS) ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Skema rawat inap BPJS Kesehatan yang selama ini berdasarkan sistem kelas 1, 2, dan 3, akan dihapus mulai tahun 2025.
Sebagai gantinya, semua akan menjadi satu kelas saja, yakni Kelas Rawat Inap Standar Jaminan Kesehatan Nasional (KRIS JKN).
Penerapan KRIS JKN BPJS Kesehatan alias kelas standar di seluruh rumah sakit (RS) ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025.
"Penahapan KRIS dimulai 2023 dengan mempertimbangkan kesiapan rumah sakit, penyelenggaraan KRIS secara menyeluruh ditargetkan 1 Januari 2025," ungkap Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Mickael Bobby Hoelman dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (9/2/2023).
Baca juga: Kelas Rawat Inap 1-3 BPJS Kesehatan Akan Dihapus Bertahap, Ini Kriteria Kamarnya
Mickael menyebut pada 2022 DJSN telah melakukan uji coba KRIS pada lima RS vertikal atau milik pemerintah, yakni RSUP Kariadi Semarang, RSUP Surakarta, RSUP Dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUP Dr. Johannes Leimena Ambon, dan RSUP Dr. Rivai Abdullah Palembang.
Pihaknya juga telah menyusun laporan hasil monitoring dan evaluasi lapangan dari uji coba di RS tersebut. Namun, yang ditelaah hanya empat RS uji coba.
Adapun keempat RS itu adalah RSUP Rivai Abdullah, RSUP Surakarta, RSUP Tadjudin Chalid dan RSUP Leimena.
"DJSN bersama dengan Kemenkes dan BPJS Kesehatan telah melakukan monitoring dan evaluasi lapangan uji coba KRIS JKN di empat rumah sakit uji coba pada Desember 2022," katanya.
DJSN sebelumnya menargetkan implementasi KRIS di seluruh RS di Indonesia bisa dilakukan pada semester II 2024.
Saat itu Mickael menyebut pada semester I 2023, 50 persen RS vertikal siap mengimplementasikan KRIS.
Sementara pada semester II 100 persen RS vertikal dapat mengimplementasikan kebijakan tersebut.
Pada waktu yang sama, 30 persen RS lainnya dalam hal ini RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta juga telah siap menerapkan KRIS.
Baca juga: Respon BPJS Ketenagakerjaan soal RUU Kesehatan Larang Perusahaan Daftarkan Pekerja Secara Bertahap
Kemudian pada semester I 2024 diharapkan 50 persen RS umum daerah, RS TNI/Polri, dan RS swasta dapat mengimplementasikan kelas standar.
Lalu, pada semester II semua RS di Indonesia sudah bisa menerapkan kebijakan kelas standar itu.
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat penerapan KRIS, ruang rawat inap yang disediakan pihak rumah sakit harus sesuai 12 standar.
"Kita rencananya akan diterapkan bertahap mulai tahun ini. Jadi ada 12 kalau enggak salah standar kamar yang harus dipenuhi oleh Kelas Rawat Inap Standar ini atau KRIS," ucap Budi di kompleks DPR RI, Rabu (8/2/2023).
Dari penerapan KRIS ini, Budi menekankan, standar ruang rawat inap yang paling signifikan berubah adalah semua rumah sakit harus membatasi jumlah tempat tidur di ruang rawat inap hanya sebanyak empat tempat tidur.
"Jadi semua rumah sakit kita samakan. Yang mungkin paling signifikan satu kamar itu empat tempat tidur, jadi kita ingin memberikan layanan yang baik buat masyarakat, jangan terlalu sesak," tutur Budi.
"Empat tempat tidur ada AC-nya dan masing-masing tempat tidur ada pemisahnya, dan di satu kamar yang berisi empat tempat tidur maksimal itu ada satu kamar mandinya," ucapnya.
Budi memastikan dengan penerapan kelas standar ini tidak akan ada perubahan tarif iuran BPJS Kesehatan pada tahun ini bagi para pesertanya.
Hal senada dikatakan Pps Kepala Humas BPJS Kesehatan Arif Budiman.
Baca juga: Cegah Penyakit dengan Biaya Besar, BPJS Kesehatan Tambah Anggaran Rp9 Triliun untuk Perawatan
Ia menyebut selama proses uji coba ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih sama dengan ketentuan BPJS sebelumnya.
Dengan kata lain, tarif iuran masih tetap berdasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam perpres itu dijelaskan iuran peserta kelas III ditetapkan sebesar Rp35 ribu per bulan mulai 1 Januari 2021 sampai sekarang.
Kemudian, iuran peserta kelas II sebesar Rp100 ribu per bulan dan kelas I sebesar Rp 150 ribu per bulan.
Ada beberapa catatan terkait biaya iuran BPJS Kesehatan.
Arif menerangkan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pekerja formal baik penyelenggara negara, seperti ASN, TNI, Polri dan pekerja swasta, besaran iuran sebesar 5 persen dari upah.
Rinciannya adalah 4 persen dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 persen oleh pekerja. Dia pun menyatakan ada batas atas dan batas bawah untuk dasar perhitungan iuran BPJS Kesehatan.
"Untuk perhitungan iuran ini berlaku pula batas bawah, yaitu upah minimum kabupaten/kota dan batas atas sebesar Rp 12 juta," terang Arif.
"Perhitungan iuran dari penghasilan seseorang hanya berlaku pada jenis kepesertaan PPU, pekerja formal yang mendapat upah secara rutin dari pemberi kerjanya," sambungnya.
Acuan perhitungan iuran BPJS tetap pada batas atas Rp 12 juta.
Bila seorang pekerja memiliki gaji di atas Rp 12 juta, misalnya saja Rp 13 juta, maka iuran yang dibayar tetap 5 persen dari Rp 12 juta.
Kebijakan penghapusan kelas 1, 2, dan 3 rawat inap BPJS Kesehatan akan segera dilaksanakan setelah rampungnya revisi Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018.
Perpres itu akan mengatur penerapan kelas rawat inap standar (KRIS).
Perpres Nomor 82 Tahun 2018 sebetulnya sudah direvisi pemerintah sebanyak dua kali hingga aturan yang terakhir muncul adalah Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
Perpres 64/2020 itu mengatur kenaikan tarif iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien menjelaskan, meski revisi Perpres 82/2018 kali ini juga dilaksanakan untuk yang ketiga kalinya, namun sebatas untuk pengaturan penerapan KRIS.
Sedangkan ihwal penyesuaian tarif iuran tidak dibahas untuk penerapan tahun ini.
"Terkait iuran, sebagaimana arahan Presiden, dalam perhitungan direncanakan tidak ada perubahan iuran sampai 2024," ujar Muttaqien.
Anggota DJSN Asih Eka Putri mengatakan, aturan yang akan menjadi acuan untuk melaksanakan KRIS yaitu revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 telah disepakati kementerian atau lembaga (K/L) terkait.
Dengan demikian, revisi Perpres itu kini akan memasuki tahap pembahasan harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Setelahnya, sesuai prosedur, akan ditandatangani Presiden Joko Widodo untuk ditetapkan tanggal berlakunya.
"Draft sudah ditandatangani K/L dan akan dibahas dalam rapat harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM," ucap Asih.(tribun network/ais/dod)