Putri Candrawathi Divonis 20 Tahun Penjara, Lebih Berat dari Tuntutan Jaksa
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan manjatuhkan vonis 20 tahun penjara terhadap Putri Candrawathi, lenih tinggi dari tuntutan jaksa.
Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Adi Suhendi
Tak hanya itu, Ferdy Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dalam kasus dugaan perintangan penyidikan atau obstraction of justice tewasnya Brigadir J.
Berikut sejumlah fakta hukum yang membuat Ferdy Sambo dijatuhi vonis mati:
1. Motif Pembunuhan Bukan Pelecehan, Tapi Sakit Hati
Dalam putusannya, hakim mengesampingkan alasan pelecehan seksual yang disebut sebelumnya disebut dilakukan Brigadir J terhadap Putri Candrawathi.
"Sehingga terhadap adanya alasan demikian (pelecehan seksual) patut dikesampingkan," kata hakim Wahyu.
Wahyu menerangkan dalam kasus ini, pelecehan seksual terhadap Putri Candrawathi tidak bisa dibuktikan secara hukum.
"Dengan demikian motif adanya kekerasan seksual yang dilakukan oleh korban Nofriansyah Yosua Hutabarat terhadap Putri Candrawathi tidak dapat dibuktikan menurut hukum," ucapnya.
Wahyu meyakini motif dalam kasus ini karena adanya perasaan sakit hati Putri Candrawathi atas sikap atau perbuatan Brigadir J.
"Sehingga motif yang lebih tepat menurut majelis hakim adanya perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, di mana perbuatan atau sikap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat tersebut yang menimbulkan perasaan sakit hati yang begitu mendalam terhadap Putri Candrswathi," tuturnya.
Hakim pun menilai ada upaya pembenaran terhadap pembunuhan Brigadir J lewat dalil kekerasan seksual terhadap Putri Candrawathi.
Hakim Wahyu Iman Santoso menyampaikan pembenaran tersebut dilakukan melalui rekomendasi hasil psikologis forensik terhadap Putri Candrawathi dan para terdakwa.
"Seolah-olah kekerasan seksual merupakan tindakan pembenaran atas perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa terhadap almarhum Nofriansyah Yosua Hutabarat," ujar Hakim Wahyu.
Padahal, kata Wahyu, tindak pidana kekerasan seksual itu sendiri tidak memiliki bukti fisik yang nyata seperti rekam medis.
Menurutnya, hasil rekomendasi psikologis forensik juga tak ada satu pun yang menunjukkan kondisi psikologis dari keluarga Brigadir J.