Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Deretan Pasal KUHP Nasional soal Langkah Memperingan Terpidana Vonis Hukuman Mati, Apa saja Isinya?

Deretan Pasal KUHP Nasional yang bisa ringankan terpidana vonis eksekusi mati. Dari masa percobaan 10 tahun berkelakuan baik hingga pengajuan grasi.

Penulis: Isti Prasetya
Editor: Tiara Shelavie
zoom-in Deretan Pasal KUHP Nasional soal Langkah Memperingan Terpidana Vonis Hukuman Mati, Apa saja Isinya?
Freepik/jcomp
Ilustrasi ketok palu - Deretan Pasal KUHP Nasional yang bisa ringankan terpidana vonis eksekusi mati. Dari masa percobaan 10 tahun berkelakuan baik hingga pengajuan grasi. 

TRIBUNNEWS.COM - Pasal terkait hukuman pidana dalam KUHP baru menjadi viral di media sosial lantaran video kritikan terkait pasal 100 Ayat (1) kembali ramai dibicarakan.

Hal ini menyusul vonis yang dijatuhkan kepada Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN), Senin (13/2/2023) sore.

Mantan jenderal Polisi bintang dua itu terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua Hutabarat bersama ajudan dan istrinya.

Baca juga: Ferdy Sambo Divonis Mati, KUHP Baru Bisa Jadi Juru Selamat

Meski demikian, vonis mati terhadap Ferdy Sambo rupanya masih belum sepenuhnya berkekuatan hukum tetap.

Hal ini dikarenakan Ferdy Sambo masih ada kesempatan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan kasasi hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).

Sehingga vonis hukuman mati ini belum menjadi kepastian bagi Ferdy Sambo.

Yang menjadi perbincangan publik adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru juga membuat terpidana hukuman mati masih memiliki celah untuk lolos dari eksekusi.

Berita Rekomendasi

Hal ini disebutkan dalam KUHP Nasional tentang ketentuan hukuman mati yang diatur dalam pasal 100.

Ayat (1) menyebut terpidana hukuman mati mendapatkan masa percobaan selama 10 tahun.

Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan dari rentang waktu tersebut.

Yakni rasa penyesalan dan ada harapan untuk memperbaiki diri serta peran terdakwa dalam tindak pidana atau adanya alasan yang bisa meringankan.

Ekseksusi hukuman mati baru bisa dilaksanakan jika selama masa percobaan 10 tahun terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, serta tidak ada harapan untuk memperbaiki.

Baca juga: Upaya Banding, KUHP Baru, Moratorium hingga Grasi akan Selamatkan Ferdy Sambo dari Eksekusi Mati?

Celah lain untuk bisa lolos dari eksekusi mati juga diatur dalam Pasal 101 yakni dengan permohonan grasi kepada Presiden.

Lebih lanjut, Pasal 101 KUHP Nasional menyatakan, jika permohonan grasi terpidana mati ditolak presiden, dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati bisa diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Lantas bagaimana bunyi pasal yang bisa ringankan hukuman tersebut?

Berikut isi lengkap pasal 100 - 102 KUHP Nasional tentang hukuman pidana mati.

Pasal 100

(1) Hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan:
      a. rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau
      b. peran terdakwa dalam Tindak Pidana.

(2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan.

(3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

(4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.

(5) Pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak Keputusan Presiden ditetapkan.

(6) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 101

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan Undang-Undang.

Baca juga: Ferdy Sambo Dihukum Mati, Video Lama Hotman Paris Kritik KUHP Baru Tentang Hukuman Mati Viral Lagi

Meski telah disahkan pada 6 Desember 2022, KUHP Nasional baru berlaku per Januari 2026.

Pasal ini pun menuai pro dan kontra di kalangan publik.

Hal tersebut lantaran video lawas saat Hotman Paris mengomentari Pasal 100 KUHP Nasional ini kembali viral di media sosial.

Video ini diunggah oleh akun Twitter @Mdy_Asmara1701 pada Senin (13/2/2023).

“Di pasal itu disebutkan seseorang terdakwa yang dijatuhkan hukuman mati nggak bisa langsung dihukum mati, harus dikasih kesempatan 10 tahun,” ujar Hotman Paris dalam video yang beredar.

Hotman Paris kemudian menyebut suatu saat surat keterangan kelakuan baik akan menjadi surat yang memiliki nilai tinggi.

Sebab, banyak orang akan rela mempertaruhkan apapun hanya untuk mendapatkan surat tersebut dan bisa terbebas dari hukuman yang sedang menjerat.

“Kesempatan 10 tahun apakah dia berubah berkelakuan baik, ya nanti bakal mahal deh surat keterangan kelakuan baik oleh kepala lapas penjara, daripada dihukum mati.”

“Orang berapapun akan mau mempertaruhkan apapun untuk mendapat surat keterangan kelakuan baik dari kepala lapas penjara.”

“Jadi apa artinya gitu loh, sudah di persidangan, divonis sampai hukuman mati, tapi tidak boleh dihukum mati, harus menunggu 10 tahun untuk dilihat apakah mental orang ini berubah menjadi kelakuan baik?” ujarnya.

Baca juga: Pakar Hukum Pidana: KUHP Baru soal Pidana Mati Tidak Bisa Diterapkan pada Kasus Ferdy Sambo

Lebih lanjut, Hotman Paris juga mempertanyakan yang membuat Undang-Undang tersebut bukanlah orang yang ahli hukum.

Pengacara kondang itu kemudian juga meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membatalkan Undang-Undang tersebut.

“Undang-Undang ini siapa sih yang bikin? yang bikin ini pasti bukan praktisi hukum, banyakan pasti dosen, sepertinya banyakan professor atau dosen, bukan praktisi hukum yang benar-benar ahli dalam praktik.”

“Bapak Jokowi segera batalkan Undang-Undang ini, salam Hotman Paris,”  ujarnya.

(Tribunnews.com/Isti Prasetya, Linda D)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas