Kajian Awal Lemhannas: Kekerasan di Papua Tidak Ada Polanya Tak Berkolerasi Dengan Indikator Ekonomi
Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto mengatakan pihaknya telah menyelesaikan satu kajian yang fokus pada variabel simtom kekerasan di Papua
Penulis: Gita Irawan
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto mengatakan pihaknya telah menyelesaikan satu kajian yang fokus pada variabel simtom kekerasan di Papua hingga Januari 2023.
Kajian yang dilakukan sebelum adanya insiden perusakan pesawat Susi Air yang bereskalasi ke penyanderaan pilot Susi Air tersebut, kata dia, merupakan satu dari tujuh kajian tentang Papua yang direncanakan untuk tahun 2023.
Ia mengatakan kajian awal tersebut menemukan sejumlah hal mulai dari peningkatan aksi kekerasan secara jumlah hingga tidak ditemukannya pola terkait aksi kekerasan tersebut.
Hal tersebut disampaikannya dalam Forum Komunikasi Gubernur Lemhannas RI bersama Pemimpin Redaksi Media Massa dengan tema Mitigasi Risiko Krisis 2023 di kantor Lemhannas RI Jakarta pada Rabu (22/2/2023).
"Aksi kekerasan di Papua itu cenderung tidak berpola, kecuali lokasi. Kalau lokasi kita bisa tahu, modusnya, terbanyaknya ada di mana. Di kabupaten mana, di wilayah mana, ada polanya. Tapi selain lokasi, tidak ada polanya," kata Andi.
"Jadi dilakukan bulan apa, dilakukan dengan sebab apa, dilakukan oleh kelompok apa, menyerang apa, tidak ada polanya, dan itu mengkhawatirkan," sambung dia.
Temuan lainnya, kata dia, adalah tidak ada korelasi antara indikator ekonomi, indikator sosial, dengan aksi kekerasan.
Misalnya, kata dia, tidak ada korelasi antara naik turunnya gini ratio, dana otonomi khusus, tingkat kemisminan, pengangguran terbuka dengan aksi kekerasan.
"Dalam artian kita belum punya treatment, harus dicari treatmentnya apa tentang Papua. Itu yang menjadi PR Bu Deputi untuk enam putaran berikutnya," kata Andi.
Menurut dia, hasil kajian tersebut menujukkan perbedaan dengan fenomena teror di Indonesia.
Fenomena teror di Indonesia, kata dia, bisa dilihat dalam tiga babak.
Dalam pembabakan tersebut, kata dia, terlihat penurunan kasus teror.
"Kalau dari sisi rezim , kita belum punya UU teror, masih desk teror di Polhukam, lalu pindah kita punya UU teror, kita kemudian memiliki BNPT Densus 88, lalu kita ada Koopsus TNI yang membantu di Poso. Treatmentnya kelihatan dari rezim pengendalian, ada pemberantasan teror," kata Andi.
"Begitu rezimnya menguat, kasus terornya menurun signifikan. Papua, pola ini nggak ketemu, belum ketemu. Itu yang menjadi PR kami di Lemhannas," sambung dia.