Komisi III DPR: Perlu Didalami Akar Masalah Soal Pelanggaran Para Oknum Pejabat Pajak dan Bea Cukai
Dede memahami bahwa pembenahan SDM dalam tubuh Kementerian, Dirjen Pajak maupun Bea Cukai juga diperlukan.
Penulis: Reza Deni
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR R Fraksi PDIP Dede Indra Permana Soediro menilai bahwa perlu didalami akar substansi yang mengakibatkan adanya pelanggaran dari para pejabat sektor keuangan, khususnya di Ditjen Pajak dan Bea Cukai.
Hal tersebut merespons kepercayaan publik yang turundrastis akibat oknum pejabat dirjen pajak sehingga berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan masyarakat untuk membayar pajak dan juga berdampak pada penurunan pendapatan negara dari sektor pajak, belum lagi adanya oknum pejabat yang menyelundupkan barang-barang mewah.
Dede memahami bahwa pembenahan SDM dalam tubuh Kementerian, Dirjen Pajak maupun Bea Cukai juga diperlukan.
“Tapi kita dalami akar substansi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran baik dari pihak petugas pajak maupun dari wajib pajaknya,” kata Dede kepada wartawan, Rabu (8/3/2023).
Dia mencontohkan bagaimana aspirasi dari kalangan pengusaha transportasi, yang mana apabila seorang pengusaha akan mengimport barang dalam hal ini truk pengangkut, pengusaha dikenakan PPN 11 persen, Bea Masuk 5%, PPh 2,5%, dan BPNKB hingga 70 Juta per unit.
“Padahal sebelum unit truk tersebut beroperasi unit harus dilengkapi trailer dan kelengkapan lainnya,” kata Dede.
Baca juga: Eko Darmanto Resmi Dicopot dari Kepala Bea Cukai Yogya Buntut Tak Laporkan LHKPN Keseluruhan
Dede mengatakan bahwa tinggi dan menumpuknya pajak atau kewajiban yang harus dibayarkan seorang pengusaha, yang mana unit tersebut menjadi modal investasi dan berniaga di wilayah Indonesia, mendorong terjadinya perputaran ekonomi di Indonesia, serta menyerap tenaga kerja.
“Sedangkan unit tersebut belum diproduksi di dalam negeri sehingga mau tidak mau pengusaha harus mengimport dari luar negeri. Ketika import unit jadi seharusnya tidak dikenakan PPN 11% karena tidak ada nilai tambah yang akhirnya harga unit yang sudah tinggi bertambah tinggi hingga mencapai 40% dari harga aslinya,” ucap Dede
Menurutnya, tingginya kewajiban dan regulasi yang terlalu njlimet ini berpotensi memunculkan kecenderungan untuk melakukan akal-akalan maupun persekongkolan antara petugas dan pengusaha.
Ini dikarenakan pengusaha tidak mampu mengeluarkan modal investasi yang begitu besar.
“Bisa kita lihat dari banyaknya perusahaan transportasi yang tutup, karena unit lama yang sudah usang harus diregenerasi namun cost terlalu tinggi, maka terjadi kelangkaan padahal permintaan/kebutuhan akan transportasi masih tinggi sehingga endingnya terjadi inflasi,” katanya.
Dede mempertanyakan insentif pajak justru diberikan kepada barang konsumsi dengan mengurangi Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), bukan pada barang modal usaha yang nantinya menjadi pendorong roda perekonomian tanah air
“Dari hasil pengamatan kami di lapangan, kami menemukan modus penyelundupan barang mewah ini importir mengimport barang tetapi yang dicantumkan dalam dokumen importnya berbeda,” katanya.
Apabila sudah “terkondisikan” dengan oknum petugas bea cukai, Dede mengatakan barang ilegal tersebut dengan lancar bisa masuk dan dapat digunakan di dalam negeri.
Namun ketika sesekali terjadi “temuan”, maka dengan mudahnya importir menyatakan bahwa oleh pengirim barang yang dikirim salah tidak sesuai dokumen pesanan dan importir tinggal melakukan re-export ke pengirim tanpa dikenakan sanksi apapun.
Hal inilah yang salah satu yang membuat penyelundupan marak dilakukan.
“Menurut kami, aparat penegak hukum harus tegas menerapkan sanksi pidana kepada importir dan oknum bea cukai yang terlibat, sehingga tercipta ekosistem niaga yang sehat tanpa ada tendensi apapun,” pungkas dia.