Mengenal Perppu Cipta Kerja 2023 dan Bedanya dengan UU Cipta Kerja 2020
MK menilai UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.
Namun banyak pihak mempertanyakan beda UU Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR RI pada tahun 2020 lalu dengan Perppu Cipta Kerja yang disahkan DPR hari ini, Selasa (21/3/2023).
Untuk lebih memahami konteks persoalannya, berikut ulasannya
Seperti diketahui, 5 Oktober 2020 DPR sahkan UU Cipta Kerja.
Sebulan setelahnya atau 2 November 2020, Presiden Jokowi menandatangani aturan itu.
Beleid yang dicatat dalam lembaran negara sebagai UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu resmi berlaku sejak 2 November 2020.
Kendati sudah disahkan, UU Cipta Kerja terus banjir kritik. Kaum buruh sempat meminta presiden membatalkan UU tersebut namun Jokowi menolak.
Baca juga: Detik-detik Pengesahan Perppu Cipta Kerja Jadi UU: Diwarnai Mic Mati hingga Aksi Walk Out PKS
Tak butuh waktu lama, ramai-ramai pihak menggugat UU Cipta Kerja ke MK. Mulai dari kalangan pekerja, akademisi, bahkan mahasiswa.
Uji materi aturan tersebut berlangsung panjang dan baru diputuskan setahun setelah UU Cipta Kerja, tepatnya 25 November 2021.
MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat.
MK menilai UU tersebut cacat formil lantaran dalam proses pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan.
Dalam putusannya, MK memberi waktu untuk pembuat undang-undang memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun setelah putusan dibacakan.
Artinya apabila dalam jangka waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan, UU Cipta Kerja tersebut akan otomatis dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen.
Setahun pascaputusan MK, pemerintah tiba-tiba menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).
Perppu ini yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang oleh DPR.
Apa bedanya dengan UU Cipta Kerja 2020 lalu?
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan bahwa substansi ketenagakerjaan yang diatur dalam Perppu pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari regulasi sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perpu 2/2022 sejatinya merupakan ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis,” ujar Menaker dikutip dari situs Setkab, Selasa (21/3/2023).
Adapun substansi ketenagakerjaan yang disempurnakan dalam Perpu ini antara lain:
Pertama, ketentuan alih daya (outsourcing). Dalam UU Cipta Kerja tidak diatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan, sedangkan dalam Perpu ini, jenis pekerjaan alih daya dibatasi.
“Dengan adanya pengaturan ini maka tidak semua jenis pekerjaan dapat diserahkan kepada perusahaan outsourcing. Nantinya, jenis atau bentuk pekerjaan yang dapat dialihdayakan akan diatur melalui peraturan pemerintah,” ujar Ida.
Kedua, penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Upah minimum dihitung dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Formula penghitungan upah minimum termasuk indeks tertentu tersebut akan diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Pada Perpu ini ditegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (UMP) serta dapat menetapkan upah minimum UMK apabila hasil penghitungan UMK lebih tinggi daripada UMP.
“Kata ‘dapat’ yang dimaksud dalam Perpu harus dimaknai bahwa gubernur memiliki kewenangan menetapkan UMK apabila nilai hasil penghitungannya lebih tinggi dari UMP,” kata Menaker.
Ketiga, penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja satu tahun atau lebih.
Keempat, terkait penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Kelima, perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Menaker menjelaskan perubahan terkait substansi ketenagakerjaan tersebut mengacu pada hasil serap aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan, dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
“Berdasarkan hal-hal tersebut pemerintah kemudian melakukan pembahasan mengenai substansi yang perlu diubah. Pertimbangan utamanya adalah penciptaan dan peningkatan lapangan kerja, pelindungan pekerja/buruh dan juga keberlangsungan usaha,” tandasnya.
Apa yang Diprotes Buruh dari Perppu Cipta Kerja Ini?
Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam berbagai kesempatan menolak Perppu Cipta Kerja karena dianggap merugikan kepentingan para buruh.
Said Iqbal mengungkapkan ada beberapa hal yang diprotes pihak buruh dari isi Perppu Cipta Kerja.
Diantaranya mengenai skema penetapan upah minimum.
Dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja melarang pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum.
Hal itu tercantum dalam Pasal 88E pada halaman 553 Perppu Cipta Kerja.
Pasal 88E ayat (1) berbunyi, "Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (l) dan ayat (2) berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 tahun pada perusahaan yang bersangkutan."
"Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum," demikian isi Pasal 88E ayat 2 Perppu Cipta Kerja seperti dikutip pada Senin (2/1/2023).
Akan tetapi, dalam Pasal 88F disebutkan, "Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2)."
Menurut Pasal 185 Perppu Cipta Kerja, pengusaha yang membayarkan upah pekerja di bawah upah minimum dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp400.000.000.
Dalam Pasal 88C ayat (1) Perppu Cipta Kerja disebutkan, gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.
Selain itu, gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota, seperti tercantum dalam Pasal 88C ayat (2).
"Penetapan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal hasil penghitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih tinggi dari Upah minimum provinsi," demikian isi Pasal 88C Ayat (3).
Sedangkan menurut Pasal 88C ayat (4) disebutkan, "upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan."
Pasal 88C Ayat (5) berbunyi, "Kondisi ekonomi dan Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik."
Sumber: Tribunnews.com/Kompas.com/Setkab.go.id