Menkumham Minta Restorative Justice Mulai Dikedepankan dalam Proses Pidana
Yasona Laolly mengajak semua pihak mengedepankan pendekatan berdasarkan keadilan restorative atau restorative justice (RJ) dalam proses pemidanaan.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Hasanudin Aco
Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasona Laolly mengajak semua pihak mengedepankan pendekatan berdasarkan keadilan restorative atau restorative justice (RJ) dalam proses pemidanaan.
Hal ini disampaikannya dalam acara Simposium Nasional ‘Menuju Paradigma Baru Pemidanaan Indonesia’ dalam rangka Hari Bakti Pemasyarakatan ke-59, di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
“Maka dalam konteks ini saya mengajak untuk sumbangsih berpikir, bagaimana filosofi yang sudah baik kita lahirkan dalam Undang-Undang pemasyarakaatan konsep Restorative Justice yang kita tuangkan di KUHP baru dapat kita terapkan dalam proses pemidanaan kepada anak-anak bangsa, yang oleh karena satu dan lain hal menjadi melakukan kejahatan,” kata Yasonna Laolly.
Baca juga: Kapolri Sebut 15.809 Perkara Telah Selesai dengan Restorative Justice Sepanjang 2022
Ia menambahkan bahwa Presiden Soekarno sebagai founding father bangsa mengungkapkan bahwa pemasyarakatam sebagai upaya pemulihan kesatuan hidup dan penghidupan.
Sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan kembali para pelanggar hukum dalam masyarakat dan ikut serta dalam pembangunan negara secara aktif.
“Serta diharapkan dapat menamamkan kembali nilai-nilai nasionalisme. Sehingga menimbulkan rasa turut bertanggung jawab pada pelanggar hukim dalam usaha bersama membangun bangsa,” kata Yasonna.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sistem penyelesaian pelanggaran melaluinsistem peradilan pidana di RI cenderung berorentasi penjara.
Kita ketahui sebelum ini penyelesaian pelanggaran melalui sistem peradilan pidana cenderung prison oriented. Setiap pelanggaran pidana selalu berujung pada pemenjaraan.
Bahkan, kata Yasonna, konsepsi penjara sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) bergeser menjadi premium remedium (upaya utama).
“Sebelum ini penyelesaian pelanggaran melalui sistem peradilan pidana cenderung prison oriented. Setiap pelanggaran pidana selalu berujung pada pemenjaraan,” tuturnya.
Yasonna pun mengajak bahwa mulai saat ini penegak hukum mulai harus melakukan sosialisasi mulai dari kampus hingga para aparat penegak hukum dan juga pengacara.
“Mulai kita masuk ke transisi sebelum 3 tahun, desember 2025 nanti, KUHPidana baru kita berlaku,” tuturnya.