Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kumpulan Puisi Chairil Anwar, Cocok Dibaca saat Peringatan Hari Puisi Nasional 2023

Simak kumpulan puisi karya Cahiril Anwar. Dapat dibacakan saat peringatan Hari Puisi Nasional pada 28 April yang bertepatan dengan hari wafatnya.

Penulis: Enggar Kusuma Wardani
Editor: Nanda Lusiana Saputri
zoom-in Kumpulan Puisi Chairil Anwar, Cocok Dibaca saat Peringatan Hari Puisi Nasional 2023
Tribunnews.com
Lukisan Chairil Anwar - Kumpulan puisi karya Chairil Anwar. Bisa dibacakan untuk peringatan Hari Puisi Nasional pada 28 April. 

TRIBUNNEWS.COM - Berikut kumpulan puisi hasil karya penyair Chairil Anwar.

Chairil Anwar merupakan seorang penyair yang telah melahirkan 96 karya, termasuk dengan 70 puisi.

Dikutip dari laman Kemdikbud, hari wafatnya Chairil Anwar diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, tepatnya pada 28 April.

Puisi-puisi yang telah diciptakan oleh Chairil Anwar mengandung beragam tema, mulai dari perjuangan hingga percintaan.

Judul puisi hasil ciptaan Chairil Anwar yakni Aku, Karawang-Bekasi, Terima Kasih Guruku hingga Rumahku.

Untuk lebih lengkapnya, berikut kumpulan puisi karya Chairil Anwar yang dapat dibawakan saat peringatan Hari Puisi Nasional 2023.

Baca juga: Sejarah Hari Puisi Nasional yang Diperingati 28 April, Mengenang Wafatnya Sastrawan Chairil Anwar

1. AKU

Berita Rekomendasi

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari Hingga hilang pedih perih
Dan akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

2. TERIMA KASIH GURU

Karya: Chairil Anwar


Terima kasih, guru
Untuk teladan yang telah kau berikan
Aku selalu mempertimbangkan semua yang kau ajarkan
Dan merefleksikan itu semua pada karakter dan pribadiku

Aku mau menjadi sepertimu
Pintar, menarik, dan gemesin,
Positif, percaya diri, protektif
Aku mau menjadi sepertimu Berpengetahuan, pemahaman yang dalam Berpikir dengan hati dan juga kepala Memberikan kami yang terbaik
Dengan sensitif dan penuh perhatian

Aku mau menjadi sepertimu
Memberikan waktumu, energi dan bakat Untuk meyakinkan masa depan yang cerah Pada kita semua.

Terima kasih, guru
Yang telah membimbing kami
Aku mau menjadi sepertimu

Baca juga: Profil Chairil Anwar, Sastrawan Indonesia yang Wafatnya Diperingati sebagai Hari Puisi Nasional

3. KRAWANG BEKASI

Krawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat

Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

Baca juga: 20 Twibbon Hari Puisi Nasional, Beserta Cara Menggunakannya

4. Hukum

Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!

5. Suara Malam

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
Dengan ketenangan selama bersatu
Mengatasi suka dan duka
Kekebalan terhadap debu dan nafsu.
Berbaring tak sedar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
Jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam Tiada
Dan sekali akan menghadap cahaya.
Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Baca juga: Sejarah Hari Puisi Nasional, Bertepatan dengan Wafatnya Sastrawan Indonesia, Chairil Anwar

6. Nisan

Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.

7. Kesabaran

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing nggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendinding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa!
Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing mata
Menunggu reda yang mesti tiba

8. Taman

Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia.

Baca juga: 15 Karya Chairil Anwar, dari Aku hingga Dendam

9. Bercerai

Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah-menyerah
Darah masih berbusah-busah.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak samudra caya tempatmu menghambur.

10. Rumahku

Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

(Tribunnews.com/Enggar Kusuma)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas