Marak Kasus Pembunuhan Anak Kandung, Pemerintah Harus Utamakan Isu Kesehatan Mental Orang Tua
Ada beberapa alasan mengejutkan yang mendorong para orang tua ini melakukan tindakan pembunuhan terhadap anak mereka sendiri.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
![Marak Kasus Pembunuhan Anak Kandung, Pemerintah Harus Utamakan Isu Kesehatan Mental Orang Tua](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/tkp-kasus-pembunuhan-anak-di-depok.jpg)
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Isu kesehatan mental orang tua saat ini menjadi sorotan terkait sederet kasus pembunuhan yang dilakukan dalam satu minggu terakhir dan ramai diberitakan berbagai media.
Dari kasus-kasus tersebut, orang tua justru menjadi pelaku kejahatan terhadap anak mereka sendiri.
Padahal mereka seharusnya dapat menjadi orang terdekat yang mampu melindungi dan paling dipercaya oleh anak.
Mirisnya, ada beberapa alasan mengejutkan yang mendorong para orang tua ini melakukan tindakan pembunuhan terhadap anak mereka sendiri.
Baca juga: Kasus Pembunuhan Anak oleh Ayah di Gresik, KemenPPPA Minta Pelaku Dihukum Berat
Mulai dari faktor kemiskinan, ketidaksanggupan dalam memberikan pengasuhan, hingga yang paling buruk adalah persepsi orang tua bahwa membunuh merupakan cara yang tepat untuk menyelamatkan anak.
Chief of Advocacy, Campaign, Communication & Media Save the Children Indonesia, Troy Pantouw mengatakan bahwa kasus pembunuhan anak yang terjadi baru-baru ini menunjukkan betapa pentingnya dukungan semua pihak dalam memberikan perhatian pada isu kesehatan mental orang tua.
"Kondisi kesehatan mental pada orang tua dapat berdampak besar pada anak-anak yang diasuhnya dan mempengaruhi perilaku serta kesejahteraan mereka (anak-anak)," kata Troy, dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu (6/5/2023).
Ia pun mendesak pemerintah untuk fokus pada isu ini, agar para orang tua dapat memiliki akses untuk memperoleh layanan kesehatan mental demi menjaga keselamatan dan tumbuh kembang anak mereka.
"Oleh karena itu, Save the Children Indonesia mendesak pemerintah untuk memprioritaskan isu kesehatan mental orang tua dalam berbagai bentuk kegiatan secara nyata dan meningkatkan akses, maupun kualitas layanan kesehatan mental bagi masyarakat, khususnya orang tua," tegas Troy.
Beberapa Studi terkait kekerasan pada anak dan kesehatan mental membuktikan bahwa orang tua yang mengalami kekerasan dalam pengasuhan pada masa kecilnya, memiliki potensi untuk melakukan pengulangan dalam pola pengasuhan.
Baca juga: Warga Sekitar Sebut Lokasi Pembunuhan Anak di Jatijajar Depok Selalu Tampak Sepi, Auranya Beda
Mereka bisa melakukan pengasuhan dengan kekerasan pada anaknya, bahkan berpotensi memiliki gangguan kesehatan mental saat orang tua itu tumbuh dari anak menjadi dewasa terutama ketika tidak pernah mendapatkan bantuan layanan profesional.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2021 menunjukkan bahwa 10 hingga 20 persen anak dan remaja di seluruh dunia mengalami kondisi permasalahan terkait kesehatan mental, 50 persen di antaranya dimulai sejak usia 14 tahun dan 75 perse dimulai pada usia pertengahan 20-an tahun.
Selain itu, satu dari empat anak saat ini tinggal bersama orang tua yang memiliki kondisi mental yang serius.
Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial atau Mental Health and Psychosocial Support (MHPSS) bagi orang tua dapat berdampak serius pada perlindungan, kesehatan dan kesejahteraan anak.
Kondisi psikologis orang tua yang rentan juga dapat meningkatkan risiko kekerasan antar pasangan, kekerasan terhadap anak dan kurangnya kemampuan orang tua dalam mendidik anak.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam meningkatkan layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial untuk orang tua demi mencegah terjadinya kasus kekerasan dan memastikan kesejahteraan anak.
Troy mengatakan pihaknya juga meminta masyarakat untuk menghentikan stigma dan persepsi terhadap masalah kesehatan mental.
Menurutnya, kesehatan mental bukanlah hal yang tabu dan harus diabaikan, namun justru memerlukan bantuan dan dukungan agar mengalami pemulihan.
Seorang anak berusia 11 tahun, Sinta, saat ini belajar untuk mengelola emosinya yang sebelumnya sering merasa kesal dengan ibunya.
Kekesalan ini sebenarnya merupakan dampak dari rutinitas yang harus kembali ia jalani di sekolah.
Oleh karena itu, Sinta pun kini membiasakan diri mempraktikkan hal yang mampu menghilangkan kekesalannya itu.
"Pas masuk sekolah lagi, saya kaget, capek karena jadwal sekolahnya lama jadinya sering sedih, marah sama mamah. Terus di sekolah diajarin pernapasan bunga dan lilin, saya jadi tenang. Di rumah juga praktikin bareng sama mamah," kata Sinta.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.