Ramlan Surbakti: Sistem Pemilu Proposional Terbuka Gagal Capai Kepartaian dan Perwakilan Politik
Pakar politik Unair Ramlan Surbakti membeberkan kegagalan yang terjadi selama Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar politik dari Universitas Airlangga Ramlan Surbakti membeberkan kegagalan yang terjadi selama Indonesia menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka.
Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) 2004-2007 ini mengungkapkan penelitiannya yang menunjukkan kegagalan sistem kepartaian dan perwakilan politik dalam mewujudkan tujuan sebagaimana Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu.
Hal ini ia sampaikan dalam webinar yang digelar Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Rabu (7/6/2023).
Baca juga: PKS Tetap Pilih Pertahankan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka: Dekatkan Pemilih dengan Wakil Rakyat
"Kesimpulan saya, sistem kepartaian seperti yang disebutkan di dalam undang-undang itu gagal dicapai, sistem perwakilan politik yang disebutkan di undang-undang itu juga gagal tercapai," kata Ramlan.
Ramlan juga menilai efektivitas sistem pemerintahan presidensial hanya menunjukkan keberhasilan sebagian.
Sebab, hanya presiden yang dinilai telah berhasil menginisiasi UU dan mengalokasikan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) sesuai aspirasi rakyat dan janji politik presiden kepada pemilihnya.
"Bagaimana dengan DPR, partai politik, enggak jelas parpol maunya apa karena parpol tidak melakukan kampanye, yang kampanye calon," ujarnya
"Calon bersaing satu sama lain. Jadi, sistem pemilu proporsional terbuka itu memang memperlemah partai," Ramlan menambahkan.
Meski dalam KPU memfasilitasi pemasangan alat peraga dan iklan kampanye, Ramlan menyebut sistem proporsional terbuka memiliki potensi vote buy atau politik uang yang lebih besar.
Lebih lanjut, ia juga menilai sistem pemilu proporsional terbuka juga menimbulkan dampak pada tata kelola pemilu. Pasalnya, sistem tersebut menyebabkan terlalu banyak surat suara terbuang.
Baca juga: Polri Usulkan Kenaikan Anggaran Untuk Pengamanan Pemilu, Begini Penjelasan Mahfud MD dan Sri Mulyani
Bahkan, Ramlan menyebut bahwa sejak Pemilu 2009, jumlah surat suara tidak sah selalu lebih dari 10 persen.
Selain itu, banyak pula surat suara sah tetapi tidak dihitung karena partai politik yang dipilih tidak memenuhi ambang batas atau parliamentary threshold.
Sebelumnya, MK telah menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu terkait sistem proporsional terbuka yang didaftarkan dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Keenam orang yang menjadi pemohon ialah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Untuk diketahui, sistem pemilu tertutup diberlakukan sejak masa pemerintahan Presiden Ir. Soekarno pada 1955, serta masa pemerintahan Presiden Soeharto yakni 1971 sampai 1992.
Pada Pemilu 1999 juga masih menggunakan sistem proporsional tertutup. Pun Pemilu 2004.
Penerapan sistem proporsional tertutup pun menuai kritik dan dilakukan uji materi ke ke MK pada 2008. Kemudian sejak Pemilu 2009 hingga Pemilu 20219, sistem pemilu beralih menjadi proporsional terbuka.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.